#NulisRandom2017
#NulisBuku
[Questions
to Ask Your Characters] Who is the last person you held hand with? Do you
think you’ll be in relationship two months from now?
“Aku...
aku khawatir kita masih diikuti.” Daffa Danadyaksa mengeluarkan sejejak asap
dari mulutnya, menggigil kedinginan sambil tetap menggenggam tangan Risha.
Mereka baru turun dari kereta api arah kecamatan-kecamatan tertentu, berangkat
dari pusat kota sejak tadi pagi.
Risha
Arabella tertawa, mengayunkan genggaman mereka sambil menatap Daffa
lekat-lekat. “Kita masih bisa lari ke rumah masing-masing terus ngadu ke
orangtua, tau.” Seringai puas muncul di bibirnya. Risha sampai heran, harusnya
Daffa-lah yang menikmati permainan ini. Sehari sebelumnya, Risha kalah bermain
monopoli dengan kakaknya dan tetangga-tetangga lain. Lalu ditantang untuk pergi
ke pusat kota naik kereta seharian, tanpa membeli tiket.
Berdiri
memang jadi satu-satunya pilihan, tapi karena perjalanan dari pusat kota ke
rumah mereka hanya memakan waktu selama lima menit, Risha masih bisa “mencuri”
tempat duduk. Yang membuat semua menggila adalah, Risha harus pergi bareng
Daffa. Cowok yang nekat dia ajak bicara di kelas tentang macam-macam hal—demi
pedekate.
Well,
bukannya Daffa nggak tahu niat Risha seperti itu. Tapi sejak mereka
menghabiskan semalaman di stasiun, bergantian tidur untuk jaga-jaga barangkali
ketahuan, Risha sadar Daffa mulai menganggap serius perasaannya.
Tantangan
Risha adalah tidak melepas genggaman tangan Daffa selama pergi dan pulang.
Berkali-kali, dia merasakan telapaknya terasa berkeringat. Belum kalau
gemetaran—Risha hanya menatap Daffa sebelum tersenyum canggung lalu mengalihkan
pandangan.
Dari
semua proses pendekatan yang pernah teman-teman ceweknya bagi, Risha merasa
pengalamannya-lah yang paling gila!
Risha
akhirnya kembali memerhatikan Daffa, mengendus kekhawatiran cowok itu. “Nggak
usah berlebihan. Petugas di stasiun pusat mungkin udah ngehubungin rekannya di
sekitar sini. Tapi kita nggak bakal ketangkep cuma gara-gara numpang tanpa
tiket.” Risha berhenti, memberi Daffa jeda untuk memahami ucapannya. Rambut
gelap cowok itu berantakan tertiup angin dingin, dan matanya berkantung.
Padahal tadi malam mereka sudah membagi giliran jaga dengan adil. Mungkin Daffa
nggak bisa tidur tanpa sepengatahuannya. “Daf, aku yang bakal tanggung jawab
seandainya mereka ngurusin ini lebih lama.”
Daffa
mengangguk, menatap lurus ke arah rel panjang yang mereka lewati. Cowok itu
mencoba mengalihkan perhatiannya ke topik apa saja selain Risha Arabella.
Namun, sudut-sudut matanya gagal mengabaikan siluet cewek tetangga sekaligus
teman sekelasnya itu. Panik tiba-tiba merayap dan menggerogoti dirinya. Sebelum
terlalu terlambat, Daffa mendegut ludah, lalu membuka suara, “Rish, aku... ada
yang pengin kukasih tahu.”
“Ya?”
Risha mendongak. Jantungnya berdegup-degup liar saat menanti apa pun kalimat
yang bakal Daffa lontarkan. Kuncit rambutnya lunglai, kontras dengan
ekspresinya yang penuh harap. Hanya saja, ekspresi di wajah Daffa cenderung
sungkan dan nggak enak.
“Aku
rasa, tangan ini bakal jadi tangan terakhir yang kamu genggam.” Daffa
tersenyum. “Kita... nggak bakal mengarah ke mana-mana.” Lagi, Daffa
mengembuskan napas. “Aku... udah pacaran sama Yona.”
Komentar
Posting Komentar