#NulisRandom2017 #NulisBuku
AU:
You saw me reading the same book you did and we got
into heated discussion on how much it sucks.
Sejak
memberi Mai cokelat (teman-teman yang lain memanggilnya “Maisha”, tapi bodo amat),
Kellen melihat cewek itu jarang kabur ke perpustakaan. Mai tetap datang pagi,
begitu juga Kellen, dan cewek itu menetap di kelas. Pagi ini, Kellen melihatnya
duduk tenang sambil memegang satu novel berkover cantik. Tanpa ragu, Kellen
mendekatinya dan bertanya, “Kamu suka novel remaja gini, ya?” Dengan gestur
kasual, Kellen menunduk dan menegakkan buku itu, mengintip kovernya. Matanya
menyipit selagi membaca, “Dibaca lebih dari jutaan kali—”
“Suka, tapi bukan yang kayak gini.” Maisha membanting
bukunya di atas meja, lalu mengembuskan napas. “Typo-nya banyak banget,
Len. Jalan ceritanya nggak terarah, nggak masuk akal, banyak yang bolong. Cara
nulisnya juga kaku.”
“Kamu nyesel udah beli?”
“Enggak sih, lagian cuma delapan puluh ribu kok.”
Maisha tersenyum sinis, dibalas dengan kekehan Kellen.
“Kamu tahu,” Kellen duduk di samping kanan Mai, “aku
udah baca novel yang lagi lo baca.”
“Serius? Kok betah sih? Baru di bab pertama aja aku
udah punya banyak keluhan. Penulisnya seumuran sama kita lho, tapi masa bahasa
Indonesia aja masih salah?”
“Bener!” Kellen menyahut, kelewat semangat. “Kalo nggak
salah baru dua-tiga bulan lalu, kan, pengumuman bakal terbit? Aku kira udah
diedit, direvisi, dan dipercantik. Kovernya pun menjanjikan, pake desain yang
belakangan ngetren. Eh, isinya berantakan.”
Maisha kembali meraih buku itu, memberi pembatas
(miliknya sendiri!), kemudian menutupnya. “Tapi percuma deh ngomong panjang
kalo yang nulis nggak mau dikritik.”
Kellen menegakkan badan, menaikkan alis, seolah berkata,
oh, ya?
Maisha mengangguk. “Ntar kalo kita bilang, ‘Ini ampas!’,
mereka marah-marah. Bilangnya, ‘penulis nggak butuh dijatuhin lagi, mereka
butuh dukungan’.” Cewek itu mendengus. “Udah salah, ngeyel, lagi.”
Ganti Kellen mengangguk-angguk. “Kalo emang jelek
dibilang jelek, ya bener. Justru kalo kita bilang bagus padahal jelek, jatuhnya
nyindir. Dan kalo emang jelek, ya nggak boleh marah. Harus dihadapi dengan
dewasa.” Kellen mengembuskan napas, Mai pun mengikutinya. “Heran; dulu
novel bagus nerbitinnya susah dan lama. Sekarang cuma modal populer, langsung
naik cetak. Parahnya, langsung main terbit aja nggak pake diedit. Hidup di
Neptunus nggak segila ini deh kayaknya.”
Maisha terkekeh. “Omong-omong, Len, aku nggak nyangka
kamu baca beginian juga. Dan sadar sama kesalahan, lagi.”
“Ha? Maksudmu?”
“Ya kamu kan populer juga kayak penulis ini.”
“Aku kan bisa bersikap dewasa,” timpal Kellen, pongah. “Aku
nggak bakal marah kalo ada yang ngoreksi kesalahanku. Nggak bakalan lah pake
acara ngambek, atau balik nyalahin. Salah ya salah.”
Maisha tersenyum, tapi lebih terlihat seperti seringai.
“Oke deh. Aku bakal lanjut baca, biar tiap pagi kita bisa diskusi lagi on
how much this book sucks.”
“As in dating?” Kellen menelengkan kepala,
sengaja menggoda.
“As in discussing,” Maisha membalas, penuh
penekanan. “Anak-anak lain bakal tetep keukeuh ini bagus, tau. Padahal
salahnya seabrek!”
Kellen tertawa. Nggak sabar menanti kesempatan lain
bisa mengolok novel yang dipegang Mai.
***
Bagi
yang pengin tahu buku apa yang Mai sama Kellen baca, bisa lihat review-ku di Goodreads. :)
Komentar
Posting Komentar