#NulisRandom2017 #NulisBuku
Sejak Oktober 2016, aku baru ngerti ada cerita
distopia, The 100, karangan Kass Morgan. Yang lebih parah, aku juga
belum tahu kalo novel ini udah diangkat jadi serial TV di channel CW.
Sekitar November sampe awal Januari 2017, aku selesai baca novelnya (sampe Homecoming doang, belum Rebellion). Baru pas masuk semester
baru, aku rajin maraton serial TV—apalagi episodenya sekarang udah lengkap sampe tamat empat season
! Whooo! #bangganyasalah
Sebelum nonton, aku baca-baca review di Goodreads.
Banyak yang bilang kalo serial TV lebih bagus daripada novel. Waktu itu aku
baru nonton trailer, dan ternyata, adegan kekerasannya ngalah-ngalahin The
Hunger Games. Sama sekali tanpa sensor. Dan, oh, aku suka yang kayak gitu (once
temenku bilang aku kayak psikopat, tapi tenang aja, aku cuma suka adegan bloodsport
tanpa berniat niru kok :3).
Sekilas tentang ceritanya versi serial TV: orang-orang
yang tinggal di pesawat luar angkasa Ark, setelah radiasi 97 tahun yang lalu,
mulai mencari cara buat bertahan hidup lagi di Bumi. Mereka mengirim seratus
kriminal remaja untuk mengetahui apa planet Bumi masih bisa ditinggali. Dari
sana, muncul banyak masalah kayak ketemu penduduk lain, membangun kepercayaan
sama temen sendiri, sampe ngirim sinyal lagi ke pesawat Ark buat suplai
bertahan hidup (can't say what, spoilers everywhere already). Premis di
novel kurang-lebih sama, tapi plotnya beda 1800. (Aku saranin baca as well as nonton,
hehe.) Sejauh ini, udah ada empat season. Jumlah episodenya 13, 16, 16,
13. Aku berharap, season 5 tahun depan tiga belas lagi. :3
I'm #TeamBellarke! Wish they'll be canon in Season 5! >w< (taken from Pinterest) |
Aku suka banget sama The 100 karena tiga alasan:
teknik ceritanya oke, episodenya bikin nagih, properti dan sistem casting-nya
dijalankan dengan baik.
1. Teknik Bercerita
Siapa pun yang pengin belajar nulis, dan pengin tahu
pola baru dari bercerita, wajib nonton The 100. Setiap tokoh punya
tujuan, saling menghalangi satu sama lain, dan dilema plus ups and downs
mereka bikin alur makin berbelit-belit. Secara harfiah, mereka diuji, membuat
pilihan, dan sebagainya. Salah sedikit aja, mereka bisa nyelakain diri sendiri
juga orang lain.
Konflik yang diangkat masuk akal, mengingat latarnya
ada di masa depan dan bergenre distopia/fiksi ilmiah. Pesawat Ark, misalnya,
dibangun buat bertahan hidup dari radiasi di Bumi. Tapi suplai air, oksigen,
dan makanan di sana mulai menipis seiring berjalannya waktu. Dan, meski
teknologi di Ark lumayan canggih, nggak serta-merta apa-apa bergantung ke situ.
Orang sakit bisa disembuhin, komunikasi jalan lancar, listrik pun bisa bikin
sendiri setelah mendarat. Cuman, untuk beberapa kasus tertentu, teknologi juga
ada batasnya—nggak dipake sebagai deus ex machina. Plus, waktu teknologi
akhirnya membantu, ada proses yang panjang, dilema-dilema lagi, juga
pilihan-pilihan yang mempertanyakan kemanusiaan.
Kemanusiaan jadi salah satu aspek yang sering
disinggung di The 100, along with hopes. Selain konflik internal,
mereka juga punya konflik eksternal yang bikin mereka harus berkorban demi
nyelametin temen-temen yang berada dalam bahaya. Kadang, untuk nyelametin
temen-temen ini, pilihan yang dibuat terlalu kejam (ingat, adegan kekerasannya
lumayan gore, bahkan menurutku melebihi The Hunger Games karena 80%
luka-luka dan rasa sakitnya dilihatin). Sampe kemanusiaan mereka pun
dipertanyakan.
Sama kayak harapan, kadang mereka berada di titik
keputusasaan yang krusial. Mereka nggak tahu lagi harus ngapain, apa ada yang
masih hidup, dan—terutama di season 4—bertahan di fase antara hidup dan
mati yang bener-bener kelihatan mustahil untuk dijalani.
Temponya juga cepet banget. Habis satu tindakan
diambil, konsekuensi yang lebih berbahaya terjadi. Gitu terus sampe klimaksnya
bikin nyess, dan tahu-tahu udah habis aja satu season. Wkwkwk. Plus,
risetnya mantep. Jadi kadang meski nggak ngerti yang diomongin mekanis sama
teknisi di situ, aku manggut-manggut doang (belakangan kayaknya sampe
ngelibatin terapi radiasi sama cryosurgery, meski tujuannya lebih “modern”
dan bukan buat yang kayak di dunia nyata saat ini).
Semua pilihan, semua tindakan, dan adegan sekecil apa
pun bener-bener diperhitungkan.
2. Episode yang Bikin Nagih
Karena ini serial yang terdiri dari banyak episode dan season,
tiap pergantian adegan selalu ada hook yang bikin penasaran. World
building dan keseluruhan plot juga diciptakan sedemikian unik, bikin kita
pengin ngerti lebih banyak, bertanya-tanya mereka selanjutnya bakal ngapain,
tanpa ngerasa di-PHP walau ujung-ujungnya tetep kerasa.
Kebanyakan serial TV emang gitu sih, tapi kalo
dibandingin sama sinetron Indonesia, jelas kebanting banget. Di The 100,
nggak peduli seberapa banyak season dan episodenya, kita tahu semua
adegan yang dipaparin penting. Suka nggak suka, selesainya ya harus dalam 13
atau 16 episode itu. Jatah selama empat puluhan menit itu bener-bener
dimanfaatkan buat “merangkum” poin-poin penting apa aja yang memang layak
ditampilin. Dan, meski panjang, The 100 bisa mempertahankan
premisnya. Semua tujuan dan konflik utama tuntas diselesaikan tanpa harus
berlarat-larat sampe 3000-an episode tanpa juntrungan *ehem Tukang Haji Naik
Bubur ehem!*.
Ada pola yang bisa diteliti dan diinget setiap mereka
sampe klimaks: kalo udah desperate, akal mereka buat memenangkan situasi
pasti keren—simpel tapi bermakna. Dan kadang sebelum berhasil, ada halangan
lagi baru menang. Itu pun, setelah berhasil, mereka malah terseret ke arus
masalah lain yang jauh lebih besar.
Meski kita tahu polanya, belum tentu kita tahu mereka
bakal ngapain di saat desperate itu. Makanya,
aku bener-bener craving banget sama serial TV ini sejak sekitar Maret
2017 (aku baru ngunduh tanggal 10, berdasarkan properti file episode 1 season 1).
3. Properti dan Sistem Casting
Ngomongin properti, yang paling kentara tuh penampilan
mereka. Tiap society (orang-orang Ark, Grounders, Mountain Men) punya
cara berpakaian tersendiri. Plus, dengan berlalunya tiap episode, beberapa
tokoh juga “ganti” penampilan. Misal, Marcus Kane mulai kehilangan wajah
bersihnya, berjenggot, dan kelihatan capek(?). Atau, Thelonius yang rambutnya
digundul di season 4. Bellamy yang rambutnya makin panjang, jadi ikal,
dan dibiarin beriap-riap. Sama Murphy yang rambutnya kadang kelihatan panjang
kadang nggak (di season 3 kalo diperhatiin kayak gitu buatku, wkwkwk).
Mesin-mesin, animasi luar angkasa, juga mendekati
kenyataan. Nggak kelihatan “maksa”, apalagi khayal. Semua bakal dieksplor,
digunakan dengan baik, dan nggak muncul karena harus muncul aja. Pasti ada gunanya. Pasti menimbulkan
konflik (walau nggak selalu sih).
Dan, soal casting, it can’t be any much
greater! Tokoh-tokoh yang hidup atau mati nggak sekadar muncul buat urusan
penampilan doang. Mereka ada, maupun enggak, karena
kebutuhan plot. Atau kalo konsep awalnya nggak gitu, pasti akhirnya tetep
penting karena peran mereka berpengaruh. Nggak asal nambah atau ngurangin orang
sesuka hati gitu aja, terus ntar ilang nggak pernah nongol lagi padahal
kayaknya konflik dia belum selesai. :>
Begitulah. Aku suka The 100 karena alasan-alasan
di atas, sekaligus karena butuh escapism. Awalnya cuma penasaran,
lama-lama langsung jadi instant fans, bikin deretan status yang (jelas)
bakal ningkatin popularitas serial TV ini. But genuinely, I love this
show and the novels for how it truly is. And I definitely recommend
you to watch this. >w<
Komentar
Posting Komentar