#NulisRandom2017
#NulisBuku
Cerita ini
gabungan sempurna escape sama interpretive literature. Dan itu
udah kayak harga mati. Konsep perang-perangannya keren, dipadu sama dunia
manusia, juga pilihan kata dan susunan kalimat yang superindah.
Daughter of
Smoke and Bone karangan Laini Taylor bercerita tentang Karou, gadis berambut
biru yang belajar di sekolah seni dan bekerja untuk seorang monster, Brimstone.
Masalah bermula waktu Karou bertemu Akiva, malaikat bermata seperti api yang
mencoba membunuhnya, dan sudah membakar pintu-pintu portal dari sihir
Brimstone. Ada tiga novel dan satu novela dalam satu seri, dan sekarang aku
baru 72% baca Dreams of Gods and Monsters, buku terakhir. >w<
Karena belum
baca sampe terakhir, aku bakal ngebahas kesan-kesanku selama baca aja. (Tapi
aku tetep yakin eksekusi konflik utamanya keren banget sih, wkwkwk.)
Di buku
pertama, kehidupan Karou dijelasin dengan detail sampe sekitar bab delapan.
Selama itu, aku nggak bosen dan malah penasaran pengin lebih banyak tahu.
Apalagi rahasia Brimstone kelihatan misterius banget (iyalah, namanya juga
rahasia xP). Plus, insecurity-nya Karou bikin galau banget. Asal-usul
cewek ini dari awal udah nggak jelas. Terus tiba-tiba Brimstone bilang dia
punya pilihan, seandainya pengin lepas dari pekerjaannya. Tapi, Karou lebih
pengin punya keluarga, tempat untuk pulang, tempat yang bikin dia ngerasa
dimiliki. Daaaaan, itu bikin pengin nangis bangeet. ;w;
Pas konflik
muncul, temponya tetep stabil. Nggak terburu-buru. Semua dijelasin dengan
detail, dari satu kejadian ke kejadian lain. Jadi sehari mulai siang sampe
malem itu bisa ngabisin beberapa bab (halaman per babnya dikit). Itu pun
rasanya udah putus asa banget, nggak tahu harus ngapain. Apalagi sebelum
bener-bener ketemu Akiva, kehidupan malaikat itu dijabarin beberapa; jadi bikin
gemes karena belum ketemu-ketemu. Dan pas udah kejadian, rasanya makin gemes.
Di buku
pertama, yang paling bikin inget tuh falling action-nya. Setelah
klimaks, mereka milih kabur. Dan, karena Akiva tahu sesuatu, dia sama Karou
mulai ngebahas sesuatu itu. Aku awalnya mikir bakal ada kejadian genting lagi.
Eh, ternyata, malah disuguhi flashback demi flashback. Pembaca
bakal tahu akhirnya gimana lewat penjelasan singkat; terus ntar di bab
berikutnya dijelasin lagi dari sudut pandang lain, ada informasi baru, sampe
seluruh kejadiannya bisa dibayangin sejelas mungkin.
Buatku yang
belum pernah nemu penyelesaian kayak gitu, rasanya aneh. Flashback,
bayangin, jadi adegan menuju akhir. Tapi cara nulis Laini Taylor indah banget,
jadi nggak ngebosenin.
Di buku
kedua, yang seru adalah gerak-gerik Karou belum terkuak di bab-bab awal. Baru
setelah Karou muncul, dijelasin dia ngapain aja dan ke mana aja.
Perkembangannya dari akhir buku satu drastis banget. Langsung ke dampak-dampak
tertentu, terus asumsi demi asumsi muncul.
Di Days
of Blood and Starlight, aku agak bosen di bagian tengah. Rasanya lamaaaa
banget buat sampe klimaks. Meski adegannya beragam, rasanya kayak Karou itu
nyelesaiin satu masalah yang sama berulang kali. Kayak nggak ada subkonfliknya
(meski ada!). Mungkin karena dia cuma keliling di satu tempat, dan ngelawan
Thiago doang, jadi rasanya kayak nggak selesai-selesai walau udah ketemu banyak
orang.
Nah, khusus
buku kedua, aku baca terjemahan bahasa Indonesia (karena punyanya ini, wkwkw).
Terjemahannya indaaah banget. Bikin betah baca. Malah aku selesai seminggu,
lebih cepet dari buku pertama sama ketiga (semoga ini cepet selesai, hehehe).
Makanya, walau adegan di tengah ngebosenin, aku lapar sama diksi-diksi yang
ada. Aku pengin lagi dan lagi, sampe rasanya nggak bisa move on.
Plus, di
sini ada tokoh-tokoh baru. Aku mulai bersimpati sama Rath-Sveva-Sarazal. Aku
penasaran sama Liraz dan semua masa lalunya. Dan, terutama, Ziri! Ziri
sebenernya udah sekitar 30 tahun, tapi dia malu-malu di depan cewek dan itu
imut bangeeet. Aku bisa ngebayangin gantengnya dia gimana, dan pas cari
gambarnya di internet, emagod... aku kehabisan napas. *oksigen mana
oksigen* Pokoknya, karakter Ziri bikin penasaran dan gemes sendiri.
Thiago sih,
aku suka fisiknya. Aku malah nge-ship dia sama Karou, karena fisik mereka
cocok. Sayang, Thiago ternyata jadi orang jahat “beneran”. Bukan cowok jahat
yang biasanya bikin meleleh, yang berubah jadi baik, punya tujuan mulia, dan
sebagainya (udah kelihatan dari bab-bab awal kok, jadi ini bukan spoiler gede :3).
Berkebalikan
dari buku pertama, penyelesaian di sini lumayan cepet. Meski baru buku kedua,
semua konflik penting digabung jadi satu. Akhirnya tujuan-tujuan utama udah
bisa dicapai, terutama di antara malaikat (eh, chimaera juga sih). Terus
pas ke epilog, langsung dijelasin ke tengah-tengah. Dan habis.
Bagian
menariknya, di Dreams of Gods and Monsters, epilog itu dijabarin sampe
beberapa bab. Again, narasinya Laini Taylor emang juara. Dia nggak
pernah buru-buru, dan semua detail yang dijelasin nggak bikin bosen. Malah
tambah penasaran. Ada kejadian penting sebelum sampe di epilog buku kedua itu,
dan masalah yang mereka hadapi makin melebar dan melebar.
Untuk sampe
ke rencana penyerbuan pun sebenernya cukup cepet, cuman karena aku sering tidur
belakangan dan nggak rutin baca, akhirnya belum selesai. :v Bayangin nih ya,
latar waktu dua hari di buku ketiga habis dalam 400-an halaman.
Sementara aku baca satu minggu masih sampe 72%, sekitar halaman 445. :')
Ada yang
bilang, seri ini ceritanya serius. Kupikir sebatas perang dan harapan doang,
karena kutipan-kutipan tentang perang selalu bagus dan relatable sama
dunia nyata. Ternyata, agama juga.
Pas baca
buku ketiga, selalu ada pertanyaan yang mampir di kepala. Kalo manusia terlalu
percaya sama malaikat dan mengambinghitamkan monster, apa berarti mereka cuma
ngandalin penampilan alih-alih fakta? (Ini nggak muncul di awal doang, tapi di
belakang-belakang juga; terutama pas banyak kerumunan orang sakit pengin
diberkati malaikat. :'3)
Atau pas
para monster kekurangan jumlah pasukan, dan malaikat lebih banyak, ada narasi
Karou tentang “no big deal”. Apa maksudnya nggak semua orang bisa
bilang “I’ve got nothing to lose” semudah itu? Keadaan mereka
bener-bener mustahil untuk menang, jadi kalo kalah ya kalah. Mati semua. No
big deal beneran. Dan aku nggak mau mereka mati. Aku udah telanjur
bersimpati. TwT
Apalagi di
halaman 353 pas ada narasi, “...but wasn’t that what religions did? Squint
at one another and declare, ‘My unprovable belief is better than your
unprovable belief. Suck it.’” Sangat, sangat relatable. Apalagi pas
Eliza bilang ke Dr. Chaudhary, kira-kira, “Kalo kamu percaya malaikat, kenapa
waktu ada orang bilang ‘aku keturunan malaikat’, kamu serta-merta bilang orang
itu gila, butuh pertolongan?”
Buku ini
memang serius. Bikin bertanya-tanya. Dan menurutku nggak bisa diterima
mentah-mentah gitu aja. Ada kebenaran yang terselip di dalemnya, suka
nggak suka. Dan Laini Taylor nggak asal ngomong, semua itu dijelasin. Dan,
jleb. Banget.
Aku udah
lihat spoiler di bab-bab belakang supaya nggak kecewa, tapi menurutku
nonton bocoran di sini nggak masalah. Kamu ngerti hasilnya, tapi kamu bakal
tetep terkejut selama ngikutin proses tokoh mencapai tujuan mereka. Keren
banget! Sangat recommended!
Komentar
Posting Komentar