#NulisRandom2017
#NulisBuku
Aku
menunggu nada dering yang berdengung statis. Menggigit bibir, aku sedikit
harap-harap cemas kalau panggilan ini tidak diangkat. Setelah beberapa detik
yang terasa seperti seabad, orang di seberang pun menyahut, “Halo?”
Aku
langsung menegakkan badan dan membalas, “Ha-halo. Hei.” Aku berdeham, sedikit
ingin berbasa-basi, tapi tau pasti usaha ini sia-sia saja. “Hmm, kau tahu, ada
yang ingin kutanyakan padamu.”
taken from Pinterest |
“Sebelumnya,
orang asing, sebutkan dulu namamu.” Dia terdengar dingin dan sinis, sangat
berjarak untuk ukuran orang yang tampak berbicara banyak.
Atau,
menulis banyak.
“Tidak
perlu,” aku berkacak pinggang, mulai kesal, “aku terburu-buru. Bisakah kau beri
tahu seberapa sering kau depresi akhir-akhir ini?”
“Kau
bercanda? Aku bahagia. Lihat tumpukan jurnal yang kusimpan di tempat aman.
Mereka sudah jadi companion terbaik dalam hidupku.” Rasa bangga melumuri
kalimatnya, yang membuatku ikut tersenyum—cenderung sinis dan puas.
“Baiklah,”
aku berhenti, memikirkan pertanyaan selanjutnya. “Hmm, apa kau punya pendamping
yang lebih nyata? Seperti pacar, atau orang yang kaucintai?”
Pertanyaanku
dibalas dengan dengusan. “Like it’s really important to you.”
“Oke,
aksen Amerika-British-mu terlalu tercampur dan dibuat-buat,” komentarku,
blakblakan. “Jadi kusimpulkan kau sudah punya pendamping yang lebih nyata.
Bagaimana dengan karier? Kau berhasil mendapat yang kauinginkan?”
“Serius,
kau cerewet sekali dan terlalu ingin banyak tahu—”
“Kau
juga pernah melakukan ini dua-tiga tahun lalu,” aku menyela, kembali tersenyum.
Kali ini lebih semringah. “Oh, benar. Aku adalah orang asing yang juga
merasakan depresi dan menulis jurnal-jurnal itu. Aku yang menelepon diriku
sendiri di masa depan, berharap kau—atau aku—mengatakan setidaknya aku
sukses.”
Lagi-lagi,
dengusan. Kali ini lebih seperti meremehkan. “Nggak perlu khawatir,” katanya,
kemudian. “Kau baik-baik saja dengan menjadi dirimu sendiri. Orang mana lagi
yang bisa menata pikiran sebagus dirimu, walau seisi dunia tidak setuju dan
tidak mau repot-repot mendukungmu?”
“Right.
It’s a success one, then.”
“Oh,
berhentilah berlagak. Aksen Amerika-British-mu terlalu tercampur dan
dibuat-buat.”
Maka,
dengan komentar terakhir dari diriku di masa depan, sambungan terputus. Aku
menoleh, kembali menghadap laptop. Jari-jariku menari menelusuri tombol-tombol keyboard,
melakukan apa yang sudah ditakdirkan untuk kulakukan.
Komentar
Posting Komentar