Langsung ke konten utama

Fleksibilitas Show Don’t Tell

#NulisRandom2017 #NulisBuku

Semua orang tahu betapa benci aku sama show don’t tell karena... yah, siapa sih yang bisa main deskripsi indah kayak yang dicontohin di tips-tips nulis itu? TwT Jadi sekitar dua tahun sejak 2015, aku nggak peduli aku pake deskripsi apa narasi. Pokoknya jalan aja terus. Kelihatannya pas, ya pake narasi. Nggak bisa nulis deskripsi panjang yang melenakan hati pembaca, ya udah. Selama ini yang paling mudah kan jadi diri sendiri. xP

all pictures taken from Pinterest

Tapi, sejak 2015 juga, aku melajarin cara nulis emosi biar sampe ke pembaca (baca tipsnya doang sih, tapi tetep aja “melajarin”, kan, wkwkwk). Tipsnya sederhana: kasih jarak aja. Misal tokoh kita lagi sedih, jangan pake kata sedih sama sekali. Dan kalo bisa nggak usah pake adegan menangis menggerung-gerung; karena nggak semua tokoh pas sedih juga bereaksi kayak gitu.

Di 2016, aku nyoba tips itu—dan, masih pake adegan nangis, hahaha. Lama-kelamaan, aku ngerasa tips ini cocok banget buat aku. Apalagi kalo udah ngomongin cinta—tahu kan, ceramah-ceramah baper di novel teenlit yang bikin meleleh dan teriak-teriak “kyaaa, kyaaaa” bukan gayaku banget. Aku berusaha bikin kalimat-kalimat quotable, tapi belum pernah nemu adegan yang pas—apalagi karena aku sering bikin konsep dulu, alur belakangan. Jadi nggak fleksibel pas nulis, karena dikit-dikit, “lhaaa nggak penting, tanpa quote itu konflik sama klimaks tetep jalan kok!”. #sesat #alasandoang :v

Akhirnya, aku ngerasa, sebenernya show don’t tell masih dipake di tips ngasih jarak untuk emosi tokoh itu. Bukan buat bikin pembaca baper, tapi buat nyiptain foreshadowing sama plot twist.



Entah sejak kapan, aku sadar itu kekuatanku. Ini penting, karena walau ada beberapa tips yang nggak cocok, pasti ada bagian lain yang masih ahli dimainkan. Aku tahu, dengan bilang “ini lho aku cocok sama teknik foreshadowing”, sama aja kayak ngumumin spoiler. Seolah aku bilang, “eh yang kutulis ini misleading lho; sebenernya ini rahasia blabla buat kejutan di belakang”. =w='

Cuman, setelah proses revisi yang panjang dan inget-inget yang udah kutulis, aku sadar, emang seru nulis sesuatu yang misleading. Kamu mau bikin perasaan benci, misalnya. Kamu nulis sederet paragraf di mana tokoh itu ngelakuin semua hal yang tampak membahayakan buat tokoh utama. Tapi, nggak ada kata “benci” sama sekali, yang ada cuma tindakan. Eh, taunya, dia nggak beneran benci. Dia cuma cinta sama ibu si tokoh utama, dan cara melindunginya malah kelihatan kayak benci (Severus Snape, everyone, Severus Snape xP).



Yang kayak gitu itu, setidaknya menurutku, bagus banget. Pembaca digiring selama ratusan halaman, bahkan bisa jadi sampe beberapa seri, untuk mengelupas fakta demi fakta lewat tindakan tokoh, dan boom! “Oooooh, dia ternyata benci beneran,” atau “Ternyata si A nggak beneran cinta, cuma ngejadiin mantannya pelarian,” atau “Ini sedih banget siiih, aku sampe nangis kejer padahal nggak nyebut kata sedih sama sekali”.

Tentu, aku masih “berusaha” (baca: bermasalah) sama show don’t tell yang ngelibatin penampilan, suasana sekitar, dan ekspresi wajah. Cuman seenggaknya ada satu kemajuan yang bisa ditingkatkan lagi dan lagi, sambil melajarin yang lain. Dan, sungguh, hanya karena aku benci show don’t tell, bukan berarti aku nggak pengin bisa nulis deskripsi yang meliuk-liuk menggoda (?). Aku cuma baru nemu satu tips yang cocok aja; sisanya... masih diusahakan! Hwhwhwhw.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhiran "-in" dan "-kan"

Awal aku ngerti ada orang yang salah pake akhiran “-kan” di akhir kalimat tuh pas baca satu novel romance  empat tahun lalu. Di situ, “pelukan” ditulis “pelukkan”; padahal maksudnya menunjukkan kata benda, bukan kata perintah buat memeluk seseorang. Terus, “meletakkan”—yang K-nya dua —ditulis “meletakan”. Kesalahan itu berlanjut di sepanjang buku, dan bacanya nggak nyaman banget. Belakangan, aku juga nemu banyak kesalahan serupa di novel-novel yang udah terbit (baik yang beberapa tahun lalu, maupun yang baru-baru ini). Dan, seolah nggak mau kalah, media sosial pun jadi ladang kesalahan akhiran  “-kan”, juga “-in”, berkembang biak. Pembaca yang budiman, tolong dipahami, huruf K di akhiran “-kan” ditulis SATU kalo kata dasarnya berakhir dengan huruf K. Contoh: tunjuk jadi menunjukkan , renyuk jadi merenyukkan , letak jadi meletakkan , masuk jadi memasukkan . Dan lain-lain. Kalo kata dasarnya nggak berakhir dengan huruf K, ya udah, tinggal ditambahi akhiran “-kan”....

Teori Nge-Ship Tokoh Supernova

Beberapa hari (sekarang udah minggu?) setelah baca Inteligensi Embun Pagi, aku nggak bisa move on sama sekali. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan alhasil, teori-teori berjejalan di kepala. Mulai murni soal tiga entitas, sampe ngelibatin tokoh-tokoh yang ku-ship. Entri kali ini bakal memuat jauh lebih banyak spoiler ketimbang entri review biasanya. Jadi, buat yang udah tuntas baca IEP, silakan membaca. Yang betah intip-intip sampe ngerti ending-nya duluan, ya, silakan. Risiko ditanggung sendiri-sendiri. :") ••• Bodhi Liong & Ishtar Summer Semua orang tahu cerita Supernova bermula dari kejar-kejaran Anshargal sama Omega. Ishtar, alias Omega, bertahun-tahun nungguin Alfa dan berencana ngonversi kekasihnya jadi Sarvara. Intinya, Ishtar ini nggak bisa move on selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun cuma demi nungguin Alfa. Di IEP, adegan Ishtar berakhir dengan menghilangnya dia di deket portal. Nah, konsekuensi perbuatan Ishtar itu jelas ngegag...

Rave Review: The 100

#NulisRandom2017 #NulisBuku Sejak Oktober 2016, aku baru ngerti ada cerita distopia, The 100 , karangan Kass Morgan. Yang lebih parah, aku juga belum tahu kalo novel ini udah diangkat jadi serial TV di channel CW. Sekitar November sampe awal Januari 2017, aku selesai baca novelnya (sampe Homecoming doang, belum Rebellion ). Baru pas masuk semester baru, aku rajin maraton serial TV—apalagi episodenya sekarang udah lengkap sampe tamat empat  season ! Whooo! #bangganyasalah Sebelum nonton, aku baca-baca review di Goodreads. Banyak yang bilang kalo serial TV lebih bagus daripada novel. Waktu itu aku baru nonton trailer , dan ternyata, adegan kekerasannya ngalah-ngalahin The Hunger Games . Sama sekali tanpa sensor. Dan, oh, aku suka yang kayak gitu ( once temenku bilang aku kayak psikopat, tapi tenang aja, aku cuma suka adegan bloodsport tanpa berniat niru kok :3). Sekilas tentang ceritanya versi serial TV: orang-orang yang tinggal di pesawat luar angkasa...