Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

[Fanfiction] Have we met before?

# Xindie   # Fanfiction  (Reached - Ally Condie) Xander saw a girl coming through the gate. He let out a gasp, his mouth full with words to say but couldn't form any yet. He waited until the girl came near her. With so much hesitation and conflicted urge, Xander extended his hand, reaching out until it gripped the girl's arm tightly. As if it was their last meeting instead of the first one. “Have we met before?” he asked, clearing his throat awkwardly. The girl chuckled. She smiled, and she looked so beautiful. She always did—Xander just forgot where he had seen it. “It’s a lame way to approach a girl, you know?” She stepped back, letting go Xander’s hand slowly so that he wouldn't hurt. “I'm Indie, by the way. Indie Holt. You?” His heart skipped a beat, but he managed to say, “Xander. Xander Thomas Carrow.” ___________________ Maaf yha. Ku sudah sangat desperate melihat mereka jadian. Wkwkwkwk.   👻 👻

Jakarta, Expert Class, GWP 3 (Bagian 3)

Sebelumnya,bagian 2. GWP 3 (dan ide-ide yang menyertai) Aku ngerti Gramedia Writing Project sejak tahun 2013. Waktu itu aku masih kelas 10 SMA, masih piyik-piyik (kayak sekarang nggak aja, LOL). Aku ngikutin potongan cerita yang Love Lost Between Us —sekuelnya FirstLove First di Wattpad.  Waktu itu, FLF baru ditolak GPU (aku malah jingkrak-jingkrak kesenengan pas nerima surat penolakan. Soalnya udah nunggu sembilan bulan, bo’! Pas buat lahiran #eh) dan judulnya masih Faithful Unto Death (judul yang dibilang temenku nyeremin sampe ganti jadi First Love First ). Di tahun 2013 itu, selain ditolak, dan kalah GWP Batch 1, aku juga kalah lomba nulis Teen and Young Adult Romance (TYAR)-nya Bukune, dan 100 Days Romance-nya Penerbit Haru. Aku maklum aja sih. Tulisanku di tahun itu masih malu-maluin banget. Teknik nulis cuma ngerti seupil. Riset cerita pun... jangan tanya. Pokoknya jangan. #ngakakdipojokan Tahun 2014, ada GWP Batch 2. Waktu itu aku ikutin First Love First v

Jakarta, Expert Class, GWP 3 (Bagian 2)

Sebelumnya, bagian satu. Plot (Rosi L. Simamora) Ada perbedaan mendasar antara cerita sama plot . Cerita nggak punya hubungan sebab-akibat. Sebaliknya, plot berjalan dalam aturan sebab-akibat . Hubungan itulah yang merajut plot jadi satu kesatuan. 1.    Plot adalah fokus cerita. Keberadaan plot selalu nggak kelihatan. Kayak fondasi di rumah. Biasanya dibawakan lewat tokoh. 2.       Ada pertanyaan di awal plot, yang harus terjawab di bagian akhir. 3.       Pertanyaan itu bisa berupa konflik awal, atau keinginan tokoh. Usahakan, awal nggak terlalu lama. 4.       Konflik internal juga bisa dipake, kayak rasa takut , khawatir , ragu , juga salah paham yang terjadi di antara tokoh. 5.       Kasih tantangan setega mungkin. 6.       Cari kejadian yang mengubah tokoh, juga dampaknya. 7.       Ntar, di klimaks, tokoh harus berubah —entah jadi lebih baik, matang, atau justru kacau. Karena itu titik terendahnya, saat di mana mereka rapuh dan nggak pun

Jakarta, Expert Class, GWP 3 (Bagian 1)

Jakarta Kamis, tanggal 20 Juli 2017 kemarin, aku berangkat dari stasiun Malang ke Jakarta. Perjalanannya ditempuh selama 15 jam, naik kereta Majapahit. Bareng Mama sama adik, kami nginep di rumah tante di Depok. Hari Jumat baru sampe, dan sore-sore adikku ngajak hunting foto bus di jalan raya deket rumah tante. Kami berdua sama-sama kaget karena jalan rayanya ruwet banget. Pas macet, berhenti dikit aja, kendaraan pada mencet klakson keras-keras. Adikku sempat nyeletuk, “Aku takut kalo kayak gini.” Aku akhirnya bales, “Ya gitu tuh kalo kamu nyetir motor; bikin aku pengin tobat.” xP Pasalnya, di Malang, kalo macet ya orang-orang berhenti aja. Misal nglakson, pasti ada pengendara yang ngelanggar aturan. [Tetep tergantung tiap orang juga sih; aku pernah nglakson orang yang jalannya pelan banget , soalnya—jadi sama nggak sabarannya. Wkwkwk.] Sabtu, kami berangkat ke Grha Niaga Thamrin, menuju Jakarta Creative Hub [btw, di depan gedung, tulisannya beneran GRHA lho, bukan ty

Kalimat Repetitif: Edisi Imbuhan -nya

Beberapa tahun lalu, pas masih kelas sepuluh, ada tugas bahasa Indonesia bikin kalimat sama temen sebangku. Kami mikirin adegan cuci piring, dan hasilnya, kalimat yang terbentuk malah kebanyakan kata “piring”. Misal, Ibu selesai mencuci piring lalu meletakkannya di tempat piring . Oke, aku agak lupa, tapi kira-kira gitu. Wkwk. taken from unsplash.com Sekarang, aku sering nemu banyak banget kalimat—baik di media sosial maupun di buku yang udah terbit—yang menggunakan “-nya” terlalu banyak ! Kebetulan, pas lagi buka One Little Thing Called Hope -nya Winna Efendi, aku nemu ini: “ Ia tidak akan dapat mengambil apa yang telah dikorbankan dan diberikan nya kepada cinta pertama nya .” --hlm. 69 Selama ini, aku selalu lebih suka pake kalimat aktif ketimbang pasif. Ambil dari contoh di atas, kata “dikorbankan” dan “diberikan”, yang pasif , bisa diubah jadi aktif (“mengorbankan” dan “memberikan”). Jadi, kira-kira, kalo diubah: Ia tidak akan dapat mengambil apa yang