Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Kesan-kesan Setelah Baca The Subtle Art of Not Giving a F*ck

Setelah baca The Subtle Art of Not Giving a F*ck -nya Mark Manson, aku tergerak. Banget. Dan sepanjang aku baca, aku sering nemu kata-kata penyemangat. Bentuknya cenderung biasa, nggak mirip kata-kata mutiara yang sering bikin orang ngiler sampe buta realitas gitu. Kalimat-kalimat Mark Manson tuh ngena, apa adanya, dan nggak terlalu dreamy . taken from Google Ada beberapa poin yang pengin kugarisbawahi, di antaranya adalah soal overdosis hal positif , just do something sebagai jawaban atas berbagai kegelisahan, dan belajar untuk masa bodo . Pertama, overdosis hal positif. Jujur aja, di depan orang banyak, entah di dunia nyata maupun maya, manusia selalu diharapkan berlaku baik, ramah, sopan, you name it . Lama-kelamaan, selain jadi hal lumrah yang diterima masyarakat, hal positif ini bikin barang negatif jadi antagonis. Nah, padahal, kebanyakan nelan hal positif juga bisa bikin overdosis. Bikin manusia menekan perasaan negatifnya cuma demi orang baik yang mampu ngo

Yang Kusuka dari Genre Distopia

Sebenernya, banyak. Mungkin aku juga bakal mengacu ke The 100 karena kesadaran akan pertanyaan di atas muncul setelah baca novel itu. :3 Cerita distopia umumnya berkisar di latar masa depan, dengan kondisi negara yang unik, sekaligus diperintah pemimpin yang diktator. Beberapa cerita dari genre ini bahkan dinilai sederhana—atau, yang lebih kejam, terlalu “anak-anak”—macem The 100 atau The Selection . Tapi, nggak peduli berapa kali pun dipuja-puji (LOL), aku justru sukaaa banget sama model cerita kayak gitu. Di The 100 , semua remaja yang terdampar di Bumi harus berjuang buat bikin tempat tinggal. Mulai dari ngebangun rumah pake kayu, memanfaatkan barang-barang dari pesawat yang masih bisa dimanfaatkan (kaleng buat ambil air, kain yang bisa dipake jadi selimut), sampe nyari sumber air dan makanan. Sumber air dan makanan itu yang bikin aku sadar: selama ini aku take everything for granted . Yep, aku ngerasa aku menyia-nyiakan sumber air dan makanan yang aksesny

Seorang Pembaca pun Bisa Patah Hati

Sudah hampir setahun sejak aku selesai baca Reached -nya Ally Condie. Di novel itu, ada satu tokoh cewek yang menurutku kuat banget dan layak diapresiasi: Indie Holt. Indie muncul sejak buku kedua, Crossed , dan berpetualang bareng Cassia dan Ky. Dia digambarkan sebagai cewek misterius, tangguh, sekaligus nggak gampang dipercaya (seenggaknya, begitulah kesanku pas baca deskripsi Indie dari sudut pandang Cassia). Dan, yep, Indie memang cuma tokoh sampingan. :') Meski begitu, aku suka banget sama Indie. Spoiler nih (yang juga bakal bertebaran sepanjang entri, hehehe), Indie diceritain suka sama Xander. Iya, Xander si cowok ganteng, pinter, dan patah hati gara-gara Cassia lebih milih Ky itu. Secara normal, aku nggak bakal setuju kalo Indie sama Xander—karena cewek itu 19 tahun, Xander 18. Lebih tua. Tapi, Indie justru devoted banget sama perasaannya. Dia sampe nyuri minipod Cassia demi ngelihatin foto dan data Xander. Mengingat cowok itu ngerasa nggak pernah dipilih