Aku baca One More Chance karena pinjem temen, dan emang lagi pengen menyelami genre romance lokal lagi. I have like, zero expectations from the start karena gaya bahasa Ninna Rosmina renyah banget, enak diikuti dan ngalir. Bikin aku pengen ngebuka halaman demi halaman tanpa henti (meski it actually took months to me to finish it, lmao).
One More Chance nyeritain tentang Violina Dawai (dipanggil Vio), cewek
berkepribadian ceria dan punya masa lalu “misterius”. Sebenernya udah dari awal
ditunjukin kalo ada yang aneh dari Vio, dan ternyata dia punya penyakit kanker
(ada di prolog nih, bukan spoiler ya wkwkwk).
Nah, si Vio ini ketemu Cello, salah satu personel band
yang dia gemari sejak SMA. Vio somehow pengen ketemu lagi sama
Cello, makanya daftar di universitas plus jurusan yang sama kayak Cello, yakni
arsitektur. Seperti yang bisa ditebak, Cello tipe cowok cuek yang suka
gonta-ganti pacar. He gave cold shoulders to Vio di awal cerita, tapi
Vio nggak pernah nyerah untuk nunjukin dan memperjuangkan perasaannya.
<Here is the thing. Meski aku nggak punya ekspektasi yang tinggi, aku
semacam berharap kalo cerita mereka tuh bakal berakhir wholesome. Cewek
dengan penyakit kritis, ketemu cowok yang punya masa lalu kelam. Ada banyak
potensi yang bisa digali di sana. The hurt/comfort trope, angst
with a happy ending, mutual pining—pokoknya
hal-hal yang biasa kita temui di AO3 tapi nggak bakal pernah bosen untuk dikonsumsi.
Well, ternyata,
semua yang terjadi di sini dikebut ngalah-ngalahin balapan MotoGP.
Bab-bab awal fokus ke kehidupan Vio sebagai maba jurusan Arsitektur. Aku suka di novel ini banyak banget istilah-istilah bangunan yang sebelumnya nggak aku tahu. Kelihatan banget risetnya dalem dan nyatu ke worldbuilding cerita. Selain itu, seluk-beluk tugas perkuliahan di jurusan arsitektur juga sering dibahas, sampe masalah skripsi dan maket juga.
Sepanjang babak pengenalan ini, Vio gencar banget
ngedeketin Cello. Dan—with all due respect—menurutku
caranya agak cringe. Belum-belum, Vio udah ngorek-ngorek masalah
percintaan Hera, bikin seniornya nggak nyaman. Apalagi Vio ngomongnya di depan
umum, like, buat apa gitu? Nyari kepastian bahwa Hera nggak ada
kesempatan sama Cello, dan Vio lebih “next level” gitu? Aku paham sih
Vio ngerasa diburu waktu karena penyakit kankernya, but guuuurl, chill.
Kalo kayak gitu caranya malah Vio yang kelihatan desperate dan terancam
nggak bisa dapetin Cello. =w=
Selain ngomporin Hera unprompted,
Vio juga cari tahu sendiri tentang orang tua Cello dan ngambil tindakan soal
itu, tanpa pengetahuan maupun persetujuan Cello. Ya siapa sih yang bakal
ngerasa nyaman? She’s a creep, dan Cello nggak nyaman. Terus dia juga
nggak langsung ngomong aja gitu, semacam “nggak usah ikut campur urusanku” or
something. Karena Vio ini udah kelewatan, nggak ngerti boundaries.
Makanya aku bertanya-tanya, why
now?
Cello selalu digambarkan nggak suka
komitmen, dia lebih nyaman dengan hubungan kasual sama cewek-cewek di
sekitarnya. Dan dia nggak naruh sedikit pun rasa tertarik ke Vio. Hubungan
mereka jadi deket ya karena “kebetulan” sejurusan aja, dan Vio yang emang proaktif.
Selebihnya, Cello nggak pernah sedikit aja, sebentar aja nunjukin rasa peduli sama Vio.
Aku sendiri sebenernya agak lupa-lupa
inget di separuh awal novelnya ngapain aja, tapi ada adegan pas Cello sama Vio
jalan bareng ke mall. Di sana, Cello ditelepon seseorang, terus mood-nya
jadi jelek. Alhasil, pas Vio ngajak bicara, Cello jadi ngebentak-bentak.
Beberapa saat kemudian, Vio lemes dan pucet, kayaknya sempet pingsan juga dan
akhirnya dibawa ke salah satu toko roti di sana.
Nah, pas di sini, aku ngerasa Cello
melakukan itu out of courtesy aja. Dia nggak tega lihat cewek sakit,
udah, titik. Mungkin ada deg-degannya, but it’s just a physical attraction.
Nggak beda jauh dengan hubungan Cello sama cewek-cewek sebelumnya, IMHO. So
it’s safe to say Cello nggak bener-bener cinta sama Vio.
Oh ya, dan di antara semua fase
perkenalan ini, sempet ada adegan Hera mergokin Vio kena penyakit. Di sini
harusnya mereka negosiasi untuk tujuan masing-masing sih, tapi Hera tetep
bungkam bahkan sampe akhir cerita.
Habis itu, ada flashback
tentang masa SMA Vio. Akhirnya fokus sebelumnya tentang perkuliahan berpindah
ke temen-temen Vio di SMA, interaksi mereka gimana, dan masalah apa yang
dihadapi Vio sampe dia bisa jadi kayak sekarang. Sempet mikir, temen-temen dia
kayak Jeffry dkk yang pernah berkonflik sama Vio bakal diungkap
keterlibatannya nggak ya? At least, kalo nggak di masa sekarang, ya di alur flashback
itu.
Tapi ternyata enggak, fellas. Mereka
cuman disebut buat menuhin halaman aja, kayaknya. ಠ⌣ಠ
Terus, di bagian akhir, everything
seems rushed. Aku kaget banget waktu Cello tiba-tiba ngajak Vio nikah cuma
karena Vio ngasih dia makan di rumahnya, selayaknya istri ngelayani suami. I
was like, TF?? Kayak tiba-tiba Cello berubah haluan cuma karena adegan yang
simpel dan menurutku nggak se-deep itu.
Cello sempat mbatin kalo Vio itu udah
membantu dia keluar dari kegelapan (masalah keluarganya), tapi dulu kan dia
nggak nyaman. Apalagi Vio basically ngorek-ngorek privasi orang. Rasanya
kayak aneh aja gitu.
Dan dua-tiga bab terakhir setelah itu
isinya narasi semua. Yang kondisi Vio melemah, Cello yang kaget dan
marah-marah, sampe time jump beberapa tahun kemudian. Dan I was
like...???
Intinya cerita ini ekspres banget
nggak ada intinya. Mauku kayak novel Ilana Tan macem Sunshine Becomes You
atau Autumn in Paris, ternyata isinya dua pasangan prik ga jelas wkwkwk.
:")
Jadi, aku ngasih three out of five stars 🥺
Komentar
Posting Komentar