Well, obviously I
have no idea how to give a better title for my first post in 2021, and also my
first post after I’ve last written any blog entry here.
Entri
ini bakal ngomongin opiniku tentang aturan nulis show don’t tell secara general—aturan
yang bikin aku gamang dan galau tingkat nasional (halah) sepanjang akhir
tahun 2020 kemarin. Aku juga bakal ngasih contoh dari beberapa novel yang aku
suka dan ceritanya bagus, tanpa bermaksud menjatuhkan cerita-cerita lain
because this is purely what I think.
Sebelum
ke bahasan utama, aku juga mau bilang gimana aku udah berproses sama hobi
nulisku sepanjang dua tahun belakangan. Aku lebih banyak nulis fanfic di AO3,
dan aku rasa tahun 2020 kemarin adalah puncak saat aku merasa paling wah dan
betah. Aku mulai nyoba pindah fandom, dan with all the celestial powers, aku
pengen banget pamer tulisanku di sini, but I just can’t. And simply won’t. :)
Pokoknya,
aku menikmati banget nulis di AO3. Aku bener-bener bisa mengembangkan rasa
kagumku sama bentuk storytelling yang baru ini—langsung tepat sasaran,
trope-nya banyak tapi bisa dieksekusi dengan berbagai macam padu-padan, dan
traffic-nya lebih “gampang” berdatangan karena udah dikategorikan sesuai
fandom, pairing, dan additional tags yang menyertai.
Tentu definisi traffic banyak buat setiap orang beda-beda. Sejauh ini, aku bisa dapet 50-an reads dalam 2-3 hari setelah nge-post satu bab. Selebihnya berjalan pelan-pelan sampe bisa jadi 100 kalo aku nggak rajin update (kalo rajin biasanya cepet nambah, tapi nggak mesti juga).
Nah, angka segitu
menurutku udah banyak banget. Dan aku nulis fanfic sebenernya lebih karena
pengen mengembangkan kemampuan nulis ketimbang ngebanyakin traffic, jadi aku enjoy
aja.
Untuk
keperluan pamer yang terbatas (lmao), tahun 2020 juga tahun pertama salah satu
fanfic-ku mencapai 1000+ reads dan 100+ kudos (semacam likes atau vote). Beberapa judul lain di fandom yang
sama juga bisa nyampe 400-600+ reads—sesuatu yang belum pernah aku alami di
2019 silam. (Selain karena ship-nya rarepair dan aku jarang update, aku juga
ngerasa bahasa Inggris-ku masih jamet waktu itu wkwkwk).
Meski
mungkin buat penulis lain angka itu udah biasa dan umum terjadi, buat aku wow
banget. Aku selalu ngerasa aku masih belajar dan ship favoritku termasuk
rarepair (cuma 200-an cerita dari 10.000-an di tag-nya, bo’!). Jadi ya wajar lah kalo nggak
ada yang ngelirik, apalagi kalo bahasa Inggris-nya masih meraba-raba.
Tapi ternyata, kalo diniatin emang bisa.
Fanfic dengan 1000+ reads itu aku selesaiin
sekitar Februari sampe Agustus, sekitar 6 bulan dengan panjang kata sebanyak 27.000-an.
Plus, hal lain yang perlu dirayakan adalah betapa aku menemukan eksplorasi baru
dari tema dan tulisan yang aku ambil. It was such an enjoyable journey, and I’d
always be grateful for that.
Dan
seperti yang bisa ditebak, tiap penulis pasti punya “penyakit”-nya sendiri-sendiri.
Penyakit yang menumpuk sejak lama, bercokol dan menghantui kewarasan sampe akhirnya
meledak kayak bom waktu.
Dalam
kasusku, “penyakit”-ku adalah perfeksionisme.
Aku
agak denial sepanjang Oktober sampe Desember, merasa bahwa mungkin yang
kualami cuma sebatas writer’s block. Mungkin aku cuma perlu istirahat
dan cari udara segar. Karena ide-ide yang brilian tetep terus menerjang lancar
ke otak, tapi energi dan motivasi buat menulis itu seolah lenyap gitu aja, tanpa
jejak maupun aba-aba.
Aku
tetep bisa nulis sih, meski serabutan dan bukan nyelesaiin WIP-ku. Ada semacam
perasaan nggak pede yang bikin aku ragu untuk terus nulis. Aku tiba-tiba takut
adegan yang mau aku lanjutkan bakal berakhir nggak masuk akal. Aku takut susunan
cerita yang aku rangkai nggak sesuai—apalagi memenuhi—ekspektasi pembaca. I
was being hard on myself and it slowly kills me from the inside.
Sempet
kepikiran juga buat beralih ke blog, nyoba ikut #30haribercerita2021 (yang cuma
bertahan sampe 2 posting-an, lmao), dan mikirin topik seputar nulis apa aja yang
bisa aku share. Ide-ide itu aku olah, tapi berakhir cuma jadi seonggok ide. Belum
terealisasikan.
Tiap
kali aku bangun dan nyoba sekuat tenaga untuk buka laptop dan nulis aja apa pun
yang aku pikirkan, I simply couldn’t. That doubt just hovered around me with
such a tight grip, and I was too powerless to retaliate, let alone liberating
myself.
Sampe
pertengahan Januari 2021, aku merasa, “Aku nggak bisa nih kayak gini terus. Jiwaku
berasa hilang, sepi, hampa. Harus ada yang aku lakukan dan ciptakan, meski
nggak sempurna.”
Dan,
well, mungkin kedengarannya sejauh ini aku melebih-lebihkan, tapi rasa ragu itu
nggak gampang untuk diterpa. Aku buka Google Doc, trus nyoba baca dua bab
terbaru yang terbengkalai. Aku coba benerin beberapa adegan yang menurutku
kurang pas, trus mau coba lanjutin adegan yang kepotong di bab selanjutnya, and
that’s it. Nothing more came out so instead of getting frustrated, I patted
myself in the back and told my brain that I’d done such a great job.
It was
until 26th January that I suddenly got the celestial power to write
again.
Hari
itu ulang tahun Changkyun Monsta X, dan aku iseng aja mikir, “Kenapa jadi nggak
ada satu bab pun yang kelar sejak November kemarin? Masa ga bisa ngehadiahin
diri sendiri sama satu posting-an aja?”
Dan
aku buka-buka folder draft di Google Doc-ku, aku pilih dan klik dua-tiga judul
secara acak yang menarik perhatian, dan gantian nulis sampe nemu ritme dan mood
yang pas buat aku lanjutin. Bener-bener gantian nulis dalam tiga tab terbuka
meski hasilnya cuma satu-dua kalimat, dan nggak sampe satu paragraf.
Aku
akhirnya nemu inspirasi dan keberanian nulis satu cerita yang baru 200-an kata,
kulanjutin sampe jadi 600-an. It was such a huge step for me. :’) Aku terus beraniin
diri ngelanjutin sampe 1000-an kata di tanggal 27, dan aku seneng banget bisa
nyampe 1400-an kata.
Pas
aku ngerasa, “Ah, ini kebanyakan tell deh. Ke mana cara nulis yang
harusnya pelan-pelan, detail, dan nggak ditabrak semua? Kenapa tiba-tiba tokohnya
ngomong dari satu tempat ke tempat lain, then BOOM! Kelar satu
bab?”
Kali
itu aku bisa menangkis keraguan dan perfeksionisme dalam diriku. Aku bilang
bahwa ini bukan buat nyari kesempurnaan. Aku nulis buat ngembaliin mesin
nulisku yang udah lama aus. Butuh dikasih oli biar jalan lagi, meski jalannya
masih nggeret, terseok-seok, dan belum mulus. Butuh proses lah. Dan
seenggaknya, 1400 kata itu udah termasuk banyak kalo dijadiin cerita biasa.
Sekitar 6-7 halaman A4, bo’. Why should I be hard on myself, coba?
Dibilang
bangga sama hasil tulisanku sih ya, enggak. Aku masih self-criticizing
sana-sini. Udah aku posting pun, tetep aku edit berkali-kali di satu adegan
yang sama cuma karena menurutku kosakata dan diksinya sucks.
Padahal
ya, siapa yang peduli gitu lho.
Bukan
bermaksud anti kritik ya, tapi level perfeksionismeku udah keterlaluan. Toh
sehari setelah aku post, ada satu user yang ngasih komen dia suka sama tulisanku.
Padahal aku ngerasa aku nulisnya asal-asalan dan nggak niat. Kekuranganku
banyaaak banget, dan mau bilang kayak gini di author’s note juga nggak sopan.
Karena sebagai penulis, sharing “pengetahuan” kayak gini bakal ngerusak
kesenangan pembaca. Seolah mereka digurui dan jadi ragu mau ngomong mereka
suka, karena mereka merasa mereka nggak “knowledgeable enough” buat tahu mana cerita
yang berkualitas mana yang enggak.
Gimana
nggak frustrasi, coba? :')
Seiring
berjalannya waktu, aku mulai nyoba mikir ini sebenernya yang jadi akar
masalahnya apa. Dan aku menyimpulkan mungkin selain ekspektasi ke diri sendiri,
aku terlalu matok ke aturan show don’t tell. Aku terlalu “terobsesi”
dengan gagasan bahwa apa pun yang aku tulis nggak akan memenuhi pedoman jahanam
itu.
Salah
satu hal yang bikin aku sadar adalah tips nulis yang aku lupa baca di mana, yang intinya bilang: satu tips paling tepat adalah tips yang bikin kamu lancar
nulis. Selama kamu lancar nulis, berarti tips itu bekerja buat kamu.
Dan
aku ngerasa, wah berarti kalo aku nggak peduli show don’t tell nggak
masalah dong? 3:>
Yang, tentu saja, jawabannya iya.
Selama kita ngerasa nyaman dengan cara nulis kita,
terutama pas masih draf awal, ya apa salahnya sih. Toh aku masih bisa ngedit
lagi gitu lho kalo ada yang kurang pas.
Dan untuk mendukung opiniku ini, aku tiba-tiba kepikiran novel Magnet Cinta, Eiffel Tolong!, sama Dark Love. Pembukaan mereka menurutku mengandung tell yang kentara banget.
Di Magnet Cinta, misalnya, Chenoa menjabarkan sifatnya sendiri tanpa ada aksi. Dia bilang kalo dia mencemplungkan diri di urusan orang berkali-kali, trus setelah deskripsi dua-tiga paragraf, baru ada adegan dia ngeladenin Bu Botox.
Di Eiffel Tolong, Fay ngejelasin tiga temennya—plus dirinya sendiri—dengan sangat detail tanpa aksi juga. Meski di paragraf berikutnya ada kata kerja yang bikin cerita lanjut jalan.
Sama juga di
Dark Love—tokoh utama ngejelasin betapa dia sering mual dan stres karena
kondisinya.
Aku
nggak merasa ada masalah dengan semua narasi tanpa aksi ini (CMIIW ya, I got
mixed up mana yang narasi sama deskripsi wkwkwk). Kenapa? Simply karena
struktur kalimatnya enak dibaca dan tempo ceritanya ngalir banget. Dibumbui
gaya bahasa yang lincah dan teratur, cara penulis membalut adegan amat sangat
piawai dan bikin kita kepo buat ngelanjutin. Ya intinya pinter-pinter main kata
sih.
Dari
sini aku juga makin sadar, bahkan setelah bertahun-tahun (ET aku beli 5 Mei 2011,
MC Juni 2012, DL Oktober 2012), aku tetep merasa tulisan-tulisan ini lincah.
Aku nggak bisa ngerasain show-nya di mana, saking cara mereka bercerita
bikin aku terserap, menghayati banget sampe lupa darat (hehe).
Hal
ini bikin aku cukup terganggu dulu. Kenapa aku nggak pernah bisa ngerasain show
penulis tiap kali aku baca, bahkan untuk novel sekelas City of Glass-nya
Cassandra Clare yang cukup deskriptif? Aku bisa mendeteksi deskripsi yang bagus
ketika aku sadar, selebihnya aku cenderung terjun ke alur cerita dan menikmati
tiap adegannya.
Alhasil (ini menurut analisis amatirku sendiri ya), ketika aku nulis aku juga lebih fokus ke
tokohnya tanpa tahu gimana caranya masukin deskripsi.
Kemarin aku nulis ide baru lagi, lanjutan dari oneshot yang nggak jadi ikut challenge November kemarin dan aku endapin karena bingung mau diapain wkwkw. Kalimat awalnya aku ambil dari satu frasa di novel Crosstalk-nya Connie Wills: “the night when it happens”, trus aku lanjutin pake adegan tokoh fanfic-ku sendiri. Udah, dari sana dua tokoh ini papasan di jalan, ngobrol, trus pulang ke rumah.
Aku sadar banget aku kurang mendeskripsikan gimana kondisi jalan di situ, sepi
atau rame, habis hujan atau cerah, dan apa mereka kedinginan, lapar, dsb. Aku
cuma nulis adegan intinya aja—aku terabas sampe selesai 900 kata, beres, kelar.
Aku
sadar sepenuhnya, aku masih perlu latihan untuk nulis deskripsi suasana, waktu,
dan tempat. Tapi demi kepentingan tempo, aku biarin dua tokohku ngobrol sampe
urusan mereka selesai. Rasanya jadi kurang detail ngurusin emosi/pikiran
tokohku, tapi ya... gimana. Aku ngerasa pas aku nulis lancar kemarin, memang itu
cara terbaikku buat nyelesaiin tulisan. Kritik nggak masalah, tapi kalo
terus-terusan meragukan diri sendiri, I won’t go anywhere, and it would only torture
me even more. =w=
Dan
aku nggak bermaksud narsis atau menjustifikasi my lack of practice, tapi ntar
kalo aku posting—selain karena peraturan nggak tertulis AO3 buat ga sembarang
kritik kecuali penulisnya sendiri yang minta—pasti hasilnya tetep baik-baik
aja. Worst case scenario is: not that many people would read it, and that’s
okay. Aku toh nggak ngejar angka dari awal, dan aku percaya bahwa nggak ada
kata terlambat buat penulis. Dalam arti aku masih bisa ngebenerin tulisanku
lagi tanpa harus membebani diri sendiri.
Sebagai tambahan, tadi pagi aku baca terjemahan interview-nya Monsta X di majalah Beauty+. Kebanyakan mereka bilang untuk tahun ini mereka pengen terus konsisten melakukan hal yang mereka tahu, yakni musik. Dan somehow aku merasa terinspirasi, karena memang aku lebih sering nulis, dan bentuk seni(?) ini adalah hal yang bikin aku cukup pede untuk nunjukin hasilnya. It’s the core of my soul, my true calling, the thing that makes me extremely happy despite the obstacles and hardships. Aku bakal terus nulis dan belajar meski sekarang belum sebagus yang aku inginkan, dan aku pengen lebih menghargai usahaku sendiri sambil jalan. Because there’s nothing wrong with making mistakes—instead, it would inform us how much we’ve improved and what we can do better in the future.
Well,
segitu dulu rupanya celotehan pertama di tahun 2021 ini. Karena udah pada
berbaik hati baca sampe habis, aku kasih hint bahwa aku udah nge-post fanfic
yang harusnya buat challenge November kemarin, di salah satu platform nulis
berwarna merah. Yang udah baca sejauh ini pasti tahu lah fandom sama genre
apa yang aku tulis. Nggak susah kok nyarinya xP
Baiklah,
sampai ketemu di entri-entri berikutnya, mengingat aku punya banyak ide mau nulis
apa! ^3^/
Komentar
Posting Komentar