Eh, what could I say? Secara keseluruhan, baca
buku ini tuh... melelahkan. And I just don’t
know how or when to stop, wkwkwk. :)
Banyak
banget hal yang kurang cocok sama aku dari cerita JUM ini, despite I still give it three stars. Mulai dari judul yang kurang
sesuai dan blurb yang agak-agak tricky
dan nipu, plot dan gaya bahasa yang “kedodoran”, sampe porsi tiap tokoh yang
timpang. Aku bakal bahas satu per satu serunut mungkin ya, tapi kalo di
tengah-tengah agak ngomongin pengalaman dan kesan selama baca ya, please bear with me. Hehe.
Pertama-tama,
judul—dan kover. Dua orang gandengan, dengan tulisan Jingga untuk Matahari, bikin aku berekspektasi bahwa cerita ini
bakal uwu-uwu gitu. Yha intinya banyak adegan pacarannya, trus ngelibatin cinta
segitiga, cemburu-cemburuan, ngerebut cewek orang, gitu-gitu lah. Sesuai di
blurb banget.
Yha,
uwu-nya ada sih di bab lima pas Seno pining
ke A, tapi sebenernya blurb di belakang itu cuma dekorasi lho. Isinya ya, sebagian
besar, Ata pindah dari Malang ke SMA Airlangga, terus dua hari diserbu fans sasaeng
cewek-cewek, terus dari awal sampe akhir rahasia B E S A R ini ditutup-tutupi for no particular reason (give my braincells back you handsome retarded
overwhelming main character!). Trus... udah. Tolong dibaca sendiri, hwhwh.
Singkatnya,
cerita ini m b u l e t.
Sebagai
perbandingan ringan, aku sebenernya cukup suka sama cerita-cerita rumit, bahkan
ingat sebagian besar intinya. Sebut aja judul-judul kayak seri Golden Bird-nya Luna Torashyngu, Eiffel Tolong!-nya Clio Freya, bahkan Separuh Bintang-nya Evline Kartika.
Masing-masing dari mereka, mulai dari sci-fi,
petualangan, sampe kontemporer, punya jalinan cerita yang cukup rumit, rahasia
yang disebar sepotong-potong, dan... tetep nyesek. Klimaksnya dapet. Ruwetnya
nyambung, dan perlu, dan nggak terlihat boros.
Oh, well, aku sendiri masih inget
garis besarnya Still... sama Dia Tanpa Aku.
Cuman,
pas balik ke Jingga series ini...
semakin aku berusaha mengingat, semakin kopong otakku jadinya. Aku cuma inget
pas adegan Fio sakit perut terus nggak ikut olahraga, sama waktu ada cicak
ditaruh di koridor sama Ari cs. Sisanya, nol besar. Seolah sinapsis otakku
menolak buat nyambung. Entah kenapa. ( ͡° ͜ʖ ͡°)
Like, aku paham arti setiap
kata dan kalimat yang ditulis—terutama di JUM. Tapi, begitu ditanya, pokok
paragrafnya apa? Ya udah, ambyar. Wkwkwk.
Tambahan
perbandingan selain Separuh Bintang yang
nyangkut keluarga lagi mungkin TwinWar-nya
Dwipatra sama Persona-nya Fakhrisina
Amalia. Dua cerita ini juga punya rahasia yang dikuak di belakang, tapi aku
tetep bisa paham, enjoy, dan nggak
ngerasa ngglethek kayak pas baca JUM.
Yep,
aku memang nggak bisa bersimpati sama tokoh-tokoh di sini. Ata dan narasi yang
melingkupi masa lalunya terlalu ditutup-tutupi.
Kamu kayak ditarik-ulur nggak jelas, sepanjang lima bab, sepuluh bab, dua
puluh... dan boom! Pas rahasia itu
akhirnya terkuak, kamu cuma bisa cengengesan dan membatin, “Telat banget nggak
sih? Udah nggak seru lagi?? Anyone???”
despite kondisinya yang emang tragis
dan mengenaskan. Mungkin karena faktor
pengecoh-nya nggak ada, jadi foreshadowing-nya
kelihatan buanget dan nggak berhasil nutupin dengan baik. (Karena udah nggak
dijadiin shadow lagi, whew. =w=)
Pola
rahasia yang ditarik-ulur ini juga menjauhkan pembaca dari inti cerita yang
sebenernya. Apa sih yang mau diceritain? Kenapa semua tokoh sibuk banget
ngerasain, “Ata berbahaya”, “ada aura yang mencurigakan dari Ata”, “Ata punya
aura yang kelam”. Like, could you stop?! I’m trying so hard to get the gist of
what’s actually happening here heeeelp my braincells just gone again I might
still need them for college ლ(╹ε╹ლ)
Jadi,
ya udah. Aku nggak bisa nemu benang merah cerita ini apa. Semua cuma tentang rahasia
Ata, masa lalu Ata, aura kelam Ata. Tapi kita nggak bener-bener tau apa sih
yang bikin cowok ini jadi “misterius” (tapi fail :v) ini??
Ada
satu akibat lagi gara-gara foreshadow nggak pas dan rahasia terlalu ditutup-tutupi terang-terangan ini: suspens-nya nggak kerasa.
Seriously, you guys... saking ogahnya ngikutin rahasia yang nggak jelas ini
tadi, aku sampe udah nggak peduli lagi si Ata ini mau ngapain. Nyebur kali kek,
terjun ke sumur kek, batal ikut UN, ter-se-rah. Aku wis capek, mas e. (ಥ_ʖಥ)
Phew.
Lanjut
ke gaya bahasa. Gaya bahasa di sini... amat-sangat jauh dari ekspektasiku. Aku
ngos-ngosan buat ngikutin diksinya yang mahatinggi dan kebanyakan majas. Bahkan
seri Eiffel Tolong! sama Supernova-nya Dee digabung jadi satu aja
nggak sesulit ini. Iya, gaya bahasa Clio Freya sama Dee memang nyastra juga,
tapi mereka bisa bikin aku paham dan tenggelam ke cerita mereka. Sementara JUM
ini... no. Just no. Bukannya terpukau apalagi sampe ketagihan, yang ada aku
mikir keras terus. Kalo diitung-itung dari awal, ini udah rugi jutaan braincells deh kayaknya. And I still need
them for college. ლ(╹ε╹ლ)
Oh
ya, satu lagi. Di bagian depan banyak banget pas sudut pandangnya berubah-ubah tanpa
peringatan. Bingung aja jadinya pas baca, wkwkwk.
Terus,
porsi tiap tokoh...
Pernah
tau MV-MV kipop yang line distribution-nya
cuma dua-tiga detik, terus lirik yang dinyanyiin member itu cuma kata yang suku
katanya pelit kayak woah, yea, dan sebangsanya? Yang bahkan sampe
nggak jelas juga ini member nyanyi apa?
Yep,
begitulah posisi Tari di sini. Duuuuikit, nggak kelihatan, bahkan lebih kayak
tokoh sampingan—wait, jadi itu artinya kover di depan, gaes. Tari di samping
tangan berlengan baju biru, sebagai... *tratak dung cess* t o k o h s a m p i n g a n. (ಥ_ʖಥ) Ya ampun, gaes, hubungan kover dan peran Tari bermakna dalem, ternyata. [no pun intended yha]
(Aku
tau itu Tari soalnya pake gelang oranye, ya, salah satu trademark-nya yang juga sama-sama mendelep kayak porsi line distribution slash screen time Tari, hwhw.)
Ari,
Oji, sama Ridho, yah... lumayan lah, kemunculannya proporsional. Yha meski
nggak bisa dibilang memberi petunjuk inti ceritanya apa. Wong dari awal semua
udah mbulet sendiri-sendiri. Wis pokoknya cerita ini mbulet dan kurang
ditajemin aja intinya.
Hal
lain yang perlu aku omongin, jelas, komen-komen para cowok di sini yang masih
seksis dan homophobic. Di hlm. 116, misalnya, pas Ridho bilang dikasih barang—terlepas
apa pun barangnya—sama cowok itu “menjijikkan banget”. I was so baffled?? Like, it wasn’t even a big deal, and he has to
mention that. Toxic masculinity
much???
Terus,
di hlm. berapa itu pas temennya Angga ngasih deskripsi lubang tindikan di telinganya Ari/Ata, dan
temen yang lain langsung nuduh dia homo. Whoops.
Whoops, boys. Homophobic much???
Ya
tapi apa lagi yang bisa diharapkan dari segerombolan cowok yang udah kelas dua
belas aja taunya masih tawuran? Nyelesaiin masalah pake kekerasan? Entah ini
pesan moral implisit supaya kita-kita pembaca jadi lebih aware, atau emang tokohnya pada kurang woke dan sebenernya nggak se-deep
itu, dua adegan ini bener-bener bikin aku heran kenapa aku bisa baca sampe
belakang dan nulis review sepanjang
ini. Whew. (ง ° ͜ ʖ °)ง
Terakhir,
bonus tips praktis buat ancang-ancang baca cerita ini nih: mbok ya dikasih trigger warning atau tag supaya pembaca nggak terkecoh.
Ala-ala AO3 juga boleh. Contoh:
posesif!Ari, manipulatif!Ata, in which Ari sering khawatir sama keberadaan Ata, in which Ata somewhat playing victim, pining!Seno, Gita/Ridho (implied), Oji/Ata (mentioned), pining!Ridho (mentioned), basically everyone pining for Ata, POV Alternating, Homophobia (implied), sexism, Tari is not theeere, lmao just kidding, but seriously, just read it tho, will be good after chapter 20++
Anyway,
Ata somehow has this bi aura because everyone loves him for who he truly is and
I accept no criticism. (Yes, I’m saying that he deserves to be with whoever he
wants to be with, regardless of their gender.)
So,
three stars!!
P.S.:
give me female characters who are portrayed as intelligent as lovey dovey
towards their love interest and not just those creepy sasaeng. Seriously, you guys... those handsome retarded overwhelming
Ata and Ari deserve some privacy and y’all need to set some boundaries. Geez. ╭( ・ㅂ・)و
P.S.S.:
Wow I become an expert at AO3 tagging, praise me ( ˘ ³˘)♥
Komentar
Posting Komentar