Langsung ke konten utama

Kesan-kesan Setelah Baca The Subtle Art of Not Giving a F*ck


Setelah baca The Subtle Art of Not Giving a F*ck-nya Mark Manson, aku tergerak. Banget. Dan sepanjang aku baca, aku sering nemu kata-kata penyemangat. Bentuknya cenderung biasa, nggak mirip kata-kata mutiara yang sering bikin orang ngiler sampe buta realitas gitu. Kalimat-kalimat Mark Manson tuh ngena, apa adanya, dan nggak terlalu dreamy.

taken from Google

Ada beberapa poin yang pengin kugarisbawahi, di antaranya adalah soal overdosis hal positif, just do something sebagai jawaban atas berbagai kegelisahan, dan belajar untuk masa bodo.

Pertama, overdosis hal positif.

Jujur aja, di depan orang banyak, entah di dunia nyata maupun maya, manusia selalu diharapkan berlaku baik, ramah, sopan, you name it. Lama-kelamaan, selain jadi hal lumrah yang diterima masyarakat, hal positif ini bikin barang negatif jadi antagonis. Nah, padahal, kebanyakan nelan hal positif juga bisa bikin overdosis. Bikin manusia menekan perasaan negatifnya cuma demi orang baik yang mampu ngontrol diri dengan ngomong hal-hal baik doang.

Ngomong hal baik itu nggak salah—cuman, kalo kebanyakan bisa jadi masalah. Untuk mengimbangi hal positif, manusia butuh hal negatif. Entah itu rasa marah, sedih, kesal, kecewa—semua hal “antagonis” yang sebenernya penting.

Aku suka banget poin ini karena kadang, waktu lagi marah atau sebel, aku nggak butuh dikasih kutipan sok bijak dan sok mutiara. Aku cuma pengin mengakui kalo aku lagi marah atau sebel, terus udah. Nggak ada judgment, nggak ada aturan kamu harus gini-gitu.

Lagi pula, setelah ngeluarin semua perasaan negatif, aku yakin aku bisa lega dan ngelihat masalah dari sudut pandang lain. Kadang yang kubutuhin tuh cuma jujur sama diri sendiri, nerima apa pun yang kurasain dan kualami, terus mikirin apa yang harus kulakuin selanjutnya dan bertanggung jawab atas keputusan itu. Sisanya, kalo marah-marah lagi, ya tinggal dikeluarin lagi.

Kedua, just do something.

Sepanjang buku, aku bertanya-tanya, aku harus ngapain supaya bisa memenuhi arahan dan anjuran di judul buku. Dan, jawabannya sesederhana just do something. Pelajaran ini didapet Mark Manson dari salah satu gurunya yang bilang kalo masalah tu semakin dipikirin semakin nggak selesai-selesai. Yang perlu dilakukan ya nyicil aja dulu, mana yang harus diselesaiin. Ntar lama-lama kita juga termotivasi buat nyelesaiin sesuatu itu.

Menurutku, ini juga ada hubungannya dengan poin-poin di bab awal tentang tanggung jawab. Misal, kalo ada PR, murid bisa nyalahin guru karena ngasih porsi kebanyakan. Tapi, seberapa besar pun mereka nyalahin, PR mereka nggak bakal selesai-selesai. Makanya, tetep muridlah yang harus bertanggung jawab atas tindakan mereka—mau ngerjain atau enggak.

Kadang, berniat melakukan sesuatu itu bisa jadi susah minta ampun kalo nggak ada motivasi. Rasanya semua yang dilakuin dan diusahain salah. Sia-sia sampe nggak ada harapan. Tapi, Mark Manson juga menekankan, bahwa kalo apa pun yang dia tulis nggak dibaca orang, dia cuma kembali ke langkah awal. Semacam nothing to lose gitu lah. Jadi, kita cuma bisa terus melakukan sesuatu, dari satu hal ke hal lain, sampe semua selesai dan siklusnya terulang lagi.

Ketiga, belajar untuk masa bodo.

Masa bodo di sini bukan berarti nggak peduli segala sesuatu seenaknya sendiri. Mark Manson bilang, masa bodo maksudnya memilah mana yang perlu ditinggal, dan mana yang perlu dipeduliin. Misal, aku suka nulis—aku pasti tahu risikonya, ups and downs-nya, dan aku masa bodo aja kalo hasilnya gini-gini terus. Aku tahu aku bakal sengsara menjalani prosesnya, tapi memang itu yang kupilih demi ngedapetin yang aku mau.

Seni bermasa bodo ini agak sulit dipahami dan terkesan muter-muter karena Mark Manson juga bilang: masa bodo maksudnya memilih sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Jadi kita nggak memperhatikan sesuatu dengan memperhatikan hal lain yang penting buat kita. Kayak milih-milih gitu lah.

Nah, yang aku suka dari poin ini adalah bahwa kita bertanggung jawab atas value yang kita anut. Kadang, yang bikin manusia sengsara ya karena value mereka kurang tepat. Entah itu pengin diakui orang lain, pengin kaya, pengin populer, you name it. Begitu semua value itu terpenuhi, manusia bisa kehilangan arah.

Manson ngasih saran, value yang tepat itu ya yang mengacu ke diri sendiri. Kita ngerasa bahagia karena bisa nyelesaiin tugas, kita bisa memperbaiki diri dari kurang pede jadi lebih pede—hal-hal yang kayak gitu lah. Plus, Manson juga bilang, kita nggak perlu muluk-muluk mendefinisikan diri sendiri. Cukup dengan “aku seorang murid”, atau “aku penulis”, atau “aku fans WJSN”. (Sorry not sorry for this shameless self-proclaiming. xP)

WJSN, sumber: Naver

Penjelasan-penjelasan di buku ini memang blakblakan banget. Bagi orang yang kurang familier sama konsep bertanggung jawab atas setiap masalah di dunia mungkin bakal sulit buat nerima gitu aja. Aku sendiri sempat ngira buku ini ngeremehin orang yang depresi kok; walau akhirnya bisa nerima argumennya dengan baik juga.

Beberapa penjelasan juga kadang membingungkan—bahkan sampe ke level lumayan filosofis—dan muter-muter. Di sini, babnya nggak dibagi per poin atau per langkah gitu. Jadi kayak cerita langsung yang isinya contoh, kalimat realistis yang berhasil memotivasi, juga bikin mikir “oh ya ya, ini masuk akal”.

That’s why, karena mungkin rangkumanku ini terbatas banget, ada baiknya kalian baca sendiri bukunya. Perspektif Mark Manson bener-bener segar, menggugah, bahkan semacam ngasih harapan.

Aku sih penginnya bisa langsung masa bodo, just do something, dan nggak perlu ngawatirin “duh aku gagal lagi”, “ntar kalo salah lagi gimana”, atau “capek banget sih dari dulu gini-gini mulu”. Tapi kayaknya, belajar masa bodo butuh waktu. Berani gagal dan nyoba lagi kayak orang bebal butuh waktu. Bisa terus nulis tanpa mikirin kesuksesan orang lain, terus mengasihani diri sendiri, juga butuh waktu. Butuh latihan.

Yang jelas, aku bersyukur bisa selesai baca The Subtle Art of Not Giving a F*ck. Kalo enggak, mungkin aku nggak bakal kepikiran buat ngeganti value jadi lebih ke mengembangkan kemampuan. Sounds too grand, but I’m a writer—and a student. I’m sure I can learn and write as best as I can expect. :3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhiran "-in" dan "-kan"

Awal aku ngerti ada orang yang salah pake akhiran “-kan” di akhir kalimat tuh pas baca satu novel romance  empat tahun lalu. Di situ, “pelukan” ditulis “pelukkan”; padahal maksudnya menunjukkan kata benda, bukan kata perintah buat memeluk seseorang. Terus, “meletakkan”—yang K-nya dua —ditulis “meletakan”. Kesalahan itu berlanjut di sepanjang buku, dan bacanya nggak nyaman banget. Belakangan, aku juga nemu banyak kesalahan serupa di novel-novel yang udah terbit (baik yang beberapa tahun lalu, maupun yang baru-baru ini). Dan, seolah nggak mau kalah, media sosial pun jadi ladang kesalahan akhiran  “-kan”, juga “-in”, berkembang biak. Pembaca yang budiman, tolong dipahami, huruf K di akhiran “-kan” ditulis SATU kalo kata dasarnya berakhir dengan huruf K. Contoh: tunjuk jadi menunjukkan , renyuk jadi merenyukkan , letak jadi meletakkan , masuk jadi memasukkan . Dan lain-lain. Kalo kata dasarnya nggak berakhir dengan huruf K, ya udah, tinggal ditambahi akhiran “-kan”....

Teori Nge-Ship Tokoh Supernova

Beberapa hari (sekarang udah minggu?) setelah baca Inteligensi Embun Pagi, aku nggak bisa move on sama sekali. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan alhasil, teori-teori berjejalan di kepala. Mulai murni soal tiga entitas, sampe ngelibatin tokoh-tokoh yang ku-ship. Entri kali ini bakal memuat jauh lebih banyak spoiler ketimbang entri review biasanya. Jadi, buat yang udah tuntas baca IEP, silakan membaca. Yang betah intip-intip sampe ngerti ending-nya duluan, ya, silakan. Risiko ditanggung sendiri-sendiri. :") ••• Bodhi Liong & Ishtar Summer Semua orang tahu cerita Supernova bermula dari kejar-kejaran Anshargal sama Omega. Ishtar, alias Omega, bertahun-tahun nungguin Alfa dan berencana ngonversi kekasihnya jadi Sarvara. Intinya, Ishtar ini nggak bisa move on selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun cuma demi nungguin Alfa. Di IEP, adegan Ishtar berakhir dengan menghilangnya dia di deket portal. Nah, konsekuensi perbuatan Ishtar itu jelas ngegag...

Writing Prompt

#NulisRandom2017 #NulisBuku #Day1 Di hari pertama nulis random , aku mau bagi-bagi ”kecurangan” waktu nulis, yakni writing prompt . Writing prompt itu semacam trigger buat nulis, inspirasi yang udah disediain. Jadi kayak menjemput ide dalam arti harfiah. Banyak writing prompt yang bisa ditemuin dari internet, salah satunya Pinterest. Mulai dari dialog, plot, nama tokoh, sampe topik tertentu yang bikin mikir atau bahkan gatel pengin cepet-cepet nulis. Personally , aku suka nulis yang ringan-ringan ( karena yang berat mending buat tugas doang #eh ), terutama di blog. Jadi, dari tiga gambar writing prompts di bawah, aku paling suka yang AU ( alternative universe ) sama pertanyaan untuk mengenal seseorang.  (Yang 200 Questions to Get to Know Someone  agak blur; mungkin kalo cari lagi di Pinterest ada yang lebih jelas, hehe.) Taken from Pinterest Selama tiga puluh—atau, 29—hari ke depan, beberapa topik aku ambil dari gambar-gambar ini. ...