Langsung ke konten utama

Supernova yang (Tidak) Tinggal Kenangan

Kalo rajin mantengin feed Instagram, juga update-an Goodreads-ku, mungkin udah sadar kalo belakangan aku maraton baca serial Supernova mulai Petir, Partikel, Gelombang, sampe yang terakhir, Inteligensi Embun Pagi. Jarak baca dari KPBJ-Akar ke empat buku terakhir lumayan jauh: mulai dari pertengahan 2015 ke dua bulan akhir 2017. Entah kenapa, dulu aku kurang mendedikasikan duit buat beli sisa serinya pas masih lengkap. Sekarang di toko buku udah jarang, dan hasilnya, aku cuma bisa pinjem di perpus.

Salah satu resolusi tahun depanku adalah nabung dan beli sisa serial itu. Aku mungkin masih labil dan terombang-ambing, mau beli atau enggak. Tapi, Supernova udah jadi serial yang berkesan banget buat aku. Tiap buku tuh ninggalin kesan sendiri-sendiri. Aku juga nggak bisa lupa adegan-adegan tertentu gitu aja. Pasti inget. Pasti berbekas. Dan, cuma bisa pinjem tanpa punya koleksinya di rumah kayak baru makan sesuap nasi terus disuruh berhenti. (Perumpamaannya nggak banget yha.)



Aku sebenernya udah tahu Supernova sejak SMP. Kira-kira pas kelas delapan. Waktu itu, ada satu yang kebuka di toko buku; dan aku inget baca bagiannya Reuben sama Dimas. Aku sama temenku yang masih awam ngira ini cerita apaan sih, kok cowok-cowok begitu. Ya langsung kami tinggal lah; wong sukanya waktu itu masih sekitar Narnia sama teenlit.

Beberapa tahun kemudian, aku memutuskan baca Supernova. Awalnya random banget. Waktu itu semester dua kelas 12, tahun 2015. Temen-temen kayak rame ngomongin KPBJ—yang novelnya baru hadir di perpus sekolah—dan bilang isinya njelimet. Kalo nggak salah, filmnya juga mau keluar. Karena penasaran, aku tengok dong ke perpus, aku ambil—dan, istilah-istilah di bab awal bukannya menghambat, malah bikin aku terisap. Aku lancar banget bacanya, dan nggak berekspektasi macem-macem. Pokoknya, itu cerita buat dibaca, udah.

Karena masih fokus ujian, aku cuma baca beberapa halaman awal. Selesai UN, aku baru menghadiahi diri sendiri KPBJ. Aku selesai baca dalam tiga belas jam, mulai pukul 9 pagi sampe 11 malam. Lumayan cepet, tapi udah cukup bikin aku terkesima. Nggak bisa move on. Terutama karena aku nge-ship dua tokoh utamanya—Diva sama Re—dan karena penyelesaian mereka yang terasa jarang dibanding novel-novel lain.



Nggak lama setelah itu, aku beli Akar. Aku agak tersendat ngikutin cerita Bodhi, dan—jujur—agak nggak terkesima gitu. Mungkin itu juga yang bikin aku mandek beli, yang bikin aku menyesal karena sekarang kehabisan. Aku beralih ke novel-novel lain, buku-buku dan cerita-cerita lain, selama lebih dari dua tahun.

Baru sekitar November 2017, aku diajak ke perpus kampus sama temenku. Perpusnya semi-sepi, semi-rame; yang bikin aku cuma tertarik ke rak fiksi (btw, kapan aku pernah ke rak yang selain fiksi di perpus? Wkwkwk). Aku keliling-keliling sok menghayati, masih ragu mau pinjem apa karena belum ada yang pas. Eh, di balik rak yang sebelumnya kutelusuri, ada serial Supernova sampe Gelombang! Aku langsung antusias dong. Bingung mau pinjem berapa, karena waktu itu masih pegang Shadow and Bone-nya Leigh Bardugo dari perpus kota.

Akhirnya, aku pinjem Petir. Bacanya lumayan cepet. Dan, aku terkesima—sekaligus menyesal karena bacanya telat banget. Elektra, si tokoh utama, mungkin belum bikin aku ngefans kayak aku ngefans ke Diva. Tapi, aku masuk ke dunianya. Suka pandangan-pandangan Elektra plus leluconnya. Suka ngikutin lika-liku hidupnya yang penuh tantangan, sebelum akhirnya berhasil dan (ehem!) bisa pamer ke Watti kalo dia pun bisa; tanpa harus menikah. :)

Sungguh, cara Elektra ngadepin kakaknya tuh bener-bener di luar dugaan. Beberapa yang kuinget pas Watti tanya, Elektra udah punya pacar apa belum; terus dijawab udah, dari Bandung, Yogya, sampe Prancis—padahal Elektra kenal di internet. Dan, jangan mulai soal Watti yang tanya Elektra masih perawan atau nggak. Rasa-rasanya jawaban Elektra genius banget!

Partikel dipinjam berbarengan sama Gelombang, dan tempo membacaku sedikit melambat. Pertama, dua buku ini tebel-tebel. Temenku sampe “takjub”, mau-maunya aku pinjem buku segede itu, dua lagi, pas rentetan tugas menerpa dan ujian udah nggak lama lagi.

Tapi, me being me, niat bebal menguasai. Aku nekat baca di sela-sela kesibukan, dan nyatanya semua tugasku selesai tepat waktu. Partikel kembali sebelum perkuliahan usai, dan Gelombang kuperpanjang sampe seminggu setelah UAS berakhir.

Ada kesamaan pola yang kutemui di Partikel sama Gelombang: di bagian pertengahan, alurnya lumayan lambat. Bedanya, di Partikel aku bosan karena nunggu kelamaan. Tujuan Zarah nyari Firas kayak nggak nyampe-nyampe, meski aku juga tahu semua ada gunanya. Di Gelombang, aku dituntun ngikutin hidup Alfa yang unik dan penuh kegentingan di Amerika.

Secara tema, aku lebih suka Partikel ketimbang Gelombang. Drama, kritik soal kehidupan, dan cecintaannya seru. Aku diajak gonta-ganti pihak. Sedetik pengin ngebela Zarah, detik berikutnya kasihan sama Aisyah, tapi akhirnya tetep memihak Zarah. Bagian akhir pun udah sedikit tertebak; somehow aku tahu urusan kakak-adikan ini bakal luntur juga. Nah, yang nggak kuantisipasi justru ada di IEP. But let’s start with Alfa first.

Di Gelombang, aku takut nggak terkesan kayak pas baca Akar. Tapi ternyata, seri kelima ini nimbulin banyak pertanyaan. Kenapa Alfa terus-terusan dibilang lupa? Kenapa harus dia yang dapet mimpi-mimpi aneh? Aku juga paling suka sama akal Alfa buat ngadepin masalah. Selain pintar dan suka belajar, Alfa bisa mengonversi pikiran negatif jadi positif. Kayak pas dia diancam babak belur, Alfa dengan pede bilang dia justru bisa ngehasilin lebih banyak uang dengan tampang buruknya itu. Menurutku, keercayaan diri Alfa itu kualitas yang patut diacungi jempol. Aku kayak—tersihir, termotivasi, dan pengin ngejadiin dia panutan.

Kalo dibandingin sama Gelombang, Akar kurang membekas di hati. Ceritanya juga seru; cuman aku kurang dibikin penasaran. Satu-satunya yang bikin aku inget “cuma” interaksi Bodhi sama Kell. Mereka, menurutku, malah lebih romantis ketimbang Reuben-Dimas. Bodhi mungkin tertarik ke Star (dan sesungguhnya aku nge-ship mereka), tapi dia lebih kelabakan waktu Kell ilang. Daaaan, di IEP, emosiku jadi makin teraduk-aduk. Jadi, yang paling kusuka dari Akar adalah kemistri Bodhi sama Kell. Selain mereka, aku agak-agak lupa sama mayoritas adegannya. :")

Nah, pas baca IEP, aku ngerasa kayak remaja alay. Bayangin, megang bukunya doang udah bikin aku mesam-mesem kayak orang gila. Aku sampe punya semacam ikrar: ntar kalo depresi, pegang buku IEP aja. Plus, inget-inget tim Chen-Doll sama PT Infiltran, perusahaan filter air. Sumpah, itu lucu banget sampe bikin sulit berhenti ketawa. :"v

Jauh sebelum baca IEP, aku sempat baca salah satu review di Goodreads. Samar-samar, aku inget siapa bakal sama siapa. Trus, ada tokoh favoritku yang porsinya relatif dikit. Aku sampe mastiin dulu ke temenku, ingatanku itu bener atau nggak. Bersyukur, dia cuma ngasih spoiler minor. Info yang bener-bener secuil banget, dan harus digali dengan baca sendiri. Jadi, biarpun aku tahu ntar ada yang sedih, aku tetep terkejut karena masih buta sama unsur how dan why-nya.

Sayang, ada beberapa plot menarik yang nggak terlalu dibahas. Aku memang sempat berharap mereka punya porsi lebih, syukur-syukur kalo bisa ketemu lagi, bareng, atau apa gitu. Nah, aku harus puas sama dialog yang dia bilang—bahwa dia selalu dekat sama Peretas itu, dan dialog itu cukup bikin aku tahu perasaan mereka berdua nggak berhenti. Mereka masih bisa bareng lagi, entah di dimensi Bumi atau dimensi lain. Plus, dia bertahan di Asko, dengan izin yang sepantasnya, yang berarti dia nggak terjerumus ke Sunyavima. Itu cukup melegakan, meski masih banyak pertanyaan.

Kalo tahun depan keturutan beli sisa serialnya (amiiin!), aku pengin bisa baca-baca ulang. Sekadar nostalgia, inget-inget, plus pura-pura perjalanan tiap tokoh masih seseru yang dituliskan. Intinya sih menganggap mereka masih hadir, wkwkwk.

Bagian Dari Penulis di buku empat dan enam pun sangat menggugah dan menginspirasi. Aku suka. Aku juga mulai ngerasa, Dee Lestari udah jadi penulis favoritku. Aku ngerasain kecintaannya menulis lewat tiap kata, kalimat, dan paragraf. Aku ngerasain dedikasinya menyusun cerita yang nggak terburu-buru, plus risetnya yang mendalam dan nggak asal-asalan.

Membaca Supernova udah kayak perjalanan yang sangat, sangat berharga. Rasanya aku sendiri udah dijadwal lewat sekuens tertentu supaya bisa “ketemu” tiga entitas di buku itu. Aku udah dikonversi total—aku sebelum baca Supernova beda dengan aku yang udah baca KPBJ sampe IEP tamat. Aku sendiri nggak heran kalo “amnesia”-ku mulai terburai, mengalami Percepatan, sampe bisa bebas dari samsara.

Overall, Supernova adalah serial yang tiap tokoh dan adegannya cukup kuat sampe melekat erat di benak. Aku suka pake banget! >w<

P.S.: aku copas tulisan dari Ms Word HP ke blog, tapi fitur bold sama italic-nya nggak berfungsi. Jadinya begini. Hehehe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhiran "-in" dan "-kan"

Awal aku ngerti ada orang yang salah pake akhiran “-kan” di akhir kalimat tuh pas baca satu novel romance  empat tahun lalu. Di situ, “pelukan” ditulis “pelukkan”; padahal maksudnya menunjukkan kata benda, bukan kata perintah buat memeluk seseorang. Terus, “meletakkan”—yang K-nya dua —ditulis “meletakan”. Kesalahan itu berlanjut di sepanjang buku, dan bacanya nggak nyaman banget. Belakangan, aku juga nemu banyak kesalahan serupa di novel-novel yang udah terbit (baik yang beberapa tahun lalu, maupun yang baru-baru ini). Dan, seolah nggak mau kalah, media sosial pun jadi ladang kesalahan akhiran  “-kan”, juga “-in”, berkembang biak. Pembaca yang budiman, tolong dipahami, huruf K di akhiran “-kan” ditulis SATU kalo kata dasarnya berakhir dengan huruf K. Contoh: tunjuk jadi menunjukkan , renyuk jadi merenyukkan , letak jadi meletakkan , masuk jadi memasukkan . Dan lain-lain. Kalo kata dasarnya nggak berakhir dengan huruf K, ya udah, tinggal ditambahi akhiran “-kan”....

Teori Nge-Ship Tokoh Supernova

Beberapa hari (sekarang udah minggu?) setelah baca Inteligensi Embun Pagi, aku nggak bisa move on sama sekali. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan alhasil, teori-teori berjejalan di kepala. Mulai murni soal tiga entitas, sampe ngelibatin tokoh-tokoh yang ku-ship. Entri kali ini bakal memuat jauh lebih banyak spoiler ketimbang entri review biasanya. Jadi, buat yang udah tuntas baca IEP, silakan membaca. Yang betah intip-intip sampe ngerti ending-nya duluan, ya, silakan. Risiko ditanggung sendiri-sendiri. :") ••• Bodhi Liong & Ishtar Summer Semua orang tahu cerita Supernova bermula dari kejar-kejaran Anshargal sama Omega. Ishtar, alias Omega, bertahun-tahun nungguin Alfa dan berencana ngonversi kekasihnya jadi Sarvara. Intinya, Ishtar ini nggak bisa move on selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun cuma demi nungguin Alfa. Di IEP, adegan Ishtar berakhir dengan menghilangnya dia di deket portal. Nah, konsekuensi perbuatan Ishtar itu jelas ngegag...

Writing Prompt

#NulisRandom2017 #NulisBuku #Day1 Di hari pertama nulis random , aku mau bagi-bagi ”kecurangan” waktu nulis, yakni writing prompt . Writing prompt itu semacam trigger buat nulis, inspirasi yang udah disediain. Jadi kayak menjemput ide dalam arti harfiah. Banyak writing prompt yang bisa ditemuin dari internet, salah satunya Pinterest. Mulai dari dialog, plot, nama tokoh, sampe topik tertentu yang bikin mikir atau bahkan gatel pengin cepet-cepet nulis. Personally , aku suka nulis yang ringan-ringan ( karena yang berat mending buat tugas doang #eh ), terutama di blog. Jadi, dari tiga gambar writing prompts di bawah, aku paling suka yang AU ( alternative universe ) sama pertanyaan untuk mengenal seseorang.  (Yang 200 Questions to Get to Know Someone  agak blur; mungkin kalo cari lagi di Pinterest ada yang lebih jelas, hehe.) Taken from Pinterest Selama tiga puluh—atau, 29—hari ke depan, beberapa topik aku ambil dari gambar-gambar ini. ...