Langsung ke konten utama

Membasmi Kecenderungan Membanding-bandingkan

Akhir-akhir ini, my mind’s been playing trick on me. Aku ngerasa aku belum sepinter orang lain, tulisanku masih segitu-gitu aja, nggak bakal menuai pujian, dan lain-lain. Padahal, kalo pas lagi sober se-sober-sober-nya, aku tahu aku punya kelebihan. And I can definitely work on that.



Aku udah capek membandingkan diri sendiri sama orang lain. Rasanya kayak berkubang dalam bullshit. Aku bisa ngelihat kualitas orang lain—entah yang ada di depan mata, yang kulihat di media sosial, atau bahkan dari persepsiku sendiri. Memang, kualitas itu ada dan nyata. Cuman, jatuhnya, aku jadi gagal menghargai apa yang udah kulakukan sejauh ini.

Nggak masalah kalo orang lain nggak memperhitungkan apa yang aku lakukan, aku suka, dan—terutama—aku nikmati. Kalo aku gagal ngelihat potensi diri sendiri, dan (gagal) bersyukur atas apa yang bisa kulakukan, selamanya aku nggak bakal puas. Aku bakal terus dihantui perasaan bahwa aku nggak bisa apa-apa. Padahal, sebenernya, kalo mau dan niat, yang kukerjakan juga selesai kok.

Tentu, aku nggak bisa ngontrol banyak paparan di luar sana yang mungkin bikin aku down lagi. Contoh, untuk novel, banyak pembaca suka tema psikologi, mulai dari depresi, bunuh diri, sampe yang berhubungan sama isu sosial. Pas ngeliat hujan pujian buat si penulis, I immediately think I don’t have that in my writing. Atau, pas liat orang lain kritis, logikanya tertata, dan tahu banyak hal, my mind abruptly believes that I’m no intelligent person.

Kenyataannya, aku belum nyoba. Dan siapa tahu, setelah nyoba, aku bisa.

Aku lebih suka kata “bisa” ketimbang “berhasil”, karena “berhasil” seems to put an end to any effort. Sementara, “bisa” seolah berlaku selamanya. Baik dalam keadaan gagal maupun berhasil. Kata “bisa” bikin orang terus melakukan apa yang mereka ingin, suka, dan nikmati. Kata “bisa” ngasih kekuatan bahwa aku punya potensi. Aku bisa nyelesaiin yang lagi kukerjakan. Dan kalo aku mau nyoba, seenggaknya aku bakal bisa.

Pertama-tama, aku mau menampar diri sendiri untuk bisa berhenti membanding-bandingkan. Fokus ke kelebihanku sendiri. Bisa mengatasi kelemahanku. Bisa terus mencoba.

Nggak ada salahnya, kan, percaya kalo aku ini diciptakan untuk jadi diri sendiri. Siapa tahu, aku bisa nulis sesuatu yang nggak ditulis orang lain. Apa serunya nyama-nyamain orang lain? Dan, memang kenapa kalo tulisanku nggak (atau seenggaknya belum) dipuji-puji? Yang penting aku nulis. Aku tahu aku suka. Dan aku menghargai apa yang kulakukan.

Kalo misal belum tahu sesuatu, ya cari tahu. Belum paham, ya pahami. Gagal, ya coba lagi. Ragu, ya percaya aja kalo bisa.

Dunia ini sebenernya simpel. Semua bisa dihadapi, asal ada kepercayaan kalo aku bisa. :3

Komentar

  1. Sama banget Kak Inas perasaan saya juga sering begitu.

    Izin kutip kalimat terakhirnya, "Semua bisa dihadapi, asal ada kepercayaan kalo aku bisa." ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhiran "-in" dan "-kan"

Awal aku ngerti ada orang yang salah pake akhiran “-kan” di akhir kalimat tuh pas baca satu novel romance  empat tahun lalu. Di situ, “pelukan” ditulis “pelukkan”; padahal maksudnya menunjukkan kata benda, bukan kata perintah buat memeluk seseorang. Terus, “meletakkan”—yang K-nya dua —ditulis “meletakan”. Kesalahan itu berlanjut di sepanjang buku, dan bacanya nggak nyaman banget. Belakangan, aku juga nemu banyak kesalahan serupa di novel-novel yang udah terbit (baik yang beberapa tahun lalu, maupun yang baru-baru ini). Dan, seolah nggak mau kalah, media sosial pun jadi ladang kesalahan akhiran  “-kan”, juga “-in”, berkembang biak. Pembaca yang budiman, tolong dipahami, huruf K di akhiran “-kan” ditulis SATU kalo kata dasarnya berakhir dengan huruf K. Contoh: tunjuk jadi menunjukkan , renyuk jadi merenyukkan , letak jadi meletakkan , masuk jadi memasukkan . Dan lain-lain. Kalo kata dasarnya nggak berakhir dengan huruf K, ya udah, tinggal ditambahi akhiran “-kan”....

Teori Nge-Ship Tokoh Supernova

Beberapa hari (sekarang udah minggu?) setelah baca Inteligensi Embun Pagi, aku nggak bisa move on sama sekali. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan alhasil, teori-teori berjejalan di kepala. Mulai murni soal tiga entitas, sampe ngelibatin tokoh-tokoh yang ku-ship. Entri kali ini bakal memuat jauh lebih banyak spoiler ketimbang entri review biasanya. Jadi, buat yang udah tuntas baca IEP, silakan membaca. Yang betah intip-intip sampe ngerti ending-nya duluan, ya, silakan. Risiko ditanggung sendiri-sendiri. :") ••• Bodhi Liong & Ishtar Summer Semua orang tahu cerita Supernova bermula dari kejar-kejaran Anshargal sama Omega. Ishtar, alias Omega, bertahun-tahun nungguin Alfa dan berencana ngonversi kekasihnya jadi Sarvara. Intinya, Ishtar ini nggak bisa move on selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun cuma demi nungguin Alfa. Di IEP, adegan Ishtar berakhir dengan menghilangnya dia di deket portal. Nah, konsekuensi perbuatan Ishtar itu jelas ngegag...

Writing Prompt

#NulisRandom2017 #NulisBuku #Day1 Di hari pertama nulis random , aku mau bagi-bagi ”kecurangan” waktu nulis, yakni writing prompt . Writing prompt itu semacam trigger buat nulis, inspirasi yang udah disediain. Jadi kayak menjemput ide dalam arti harfiah. Banyak writing prompt yang bisa ditemuin dari internet, salah satunya Pinterest. Mulai dari dialog, plot, nama tokoh, sampe topik tertentu yang bikin mikir atau bahkan gatel pengin cepet-cepet nulis. Personally , aku suka nulis yang ringan-ringan ( karena yang berat mending buat tugas doang #eh ), terutama di blog. Jadi, dari tiga gambar writing prompts di bawah, aku paling suka yang AU ( alternative universe ) sama pertanyaan untuk mengenal seseorang.  (Yang 200 Questions to Get to Know Someone  agak blur; mungkin kalo cari lagi di Pinterest ada yang lebih jelas, hehe.) Taken from Pinterest Selama tiga puluh—atau, 29—hari ke depan, beberapa topik aku ambil dari gambar-gambar ini. ...