Fragmented sentence itu kalimat yang nggak lengkap. Intinya sih, yang subjek sama predikatnya nggak jelas. Coba baca di sini.
Biasanya sih, kebanyakan novel masih mengandung kalimat-kalimat nggak lengkap kayak gini.
Misal:
Seandainya lo nggak ngomong apa-apa.
Nah, harusnya masih ada keterangan di belakang, yang nunjukin akibat dari "seandainya" itu.
Cuman, sepanjang pengalamanku baca, kebanyakan novel masih punya kalimat fragmented yang termaafkan.
Misal:
"Kita bakal baik-baik aja," dia berteriak, terengah-engah, "seandainya lo nggak ngomong apa-apa!"
Itu masih ada komanya.
Kalo yang nggak ada koma dan termaafkan juga ada. Misal:
"Kita bakal baik-baik aja." Dia terengah-engah, mengepalkan tangan. "Seandainya lo nggak ngomong apa-apa."
Sebagai pembaca, kita masih ngerti maksud dari "seandainya lo nggak ngomong apa-apa" itu. Kita ngerti kalo kalimat fragmented di situ terhubung ke pernyataan sebelumnya. Dibandingin sama kalimat pertama, yang nggak ada keterangan apa-apa baik di depan maupun di belakang, versi kedua sama ketiga ini lebih bisa dipahami (dan dimaafkan).
Plus, mungkin ada unsur licentia poetica juga. Biar kalimat lebih indah dan nggak kaku, "seandainya" itu jadi kalimat sendiri. Yang penting ada keterangan dan pembaca ngerti itu maksudnya ke mana, menurutku boleh-boleh aja.
Meski, tentu, yang namanya kalimat fragmented ya kalimat fragmented. Kalo ada yang nggak jelas, misal:
Louis yang memakai skinny jeans yang menyanyikan What Makes You Beautiful dengan merdu.
...ya pasti salah.
Kalimat Louis ini nggak bisa didebat lagi karena salahnya fatal. Subjek sama predikatnya nggak jelas. Kata "yang" kedua itu mending diilangin, jadi kalimat itu lebih padu.
Semoga celoteh di atas bisa membantu dan ngasih pencerahan, walau cuma sedikit ya. ☺️🧡
Biasanya sih, kebanyakan novel masih mengandung kalimat-kalimat nggak lengkap kayak gini.
Misal:
Seandainya lo nggak ngomong apa-apa.
Nah, harusnya masih ada keterangan di belakang, yang nunjukin akibat dari "seandainya" itu.
Cuman, sepanjang pengalamanku baca, kebanyakan novel masih punya kalimat fragmented yang termaafkan.
Misal:
"Kita bakal baik-baik aja," dia berteriak, terengah-engah, "seandainya lo nggak ngomong apa-apa!"
Itu masih ada komanya.
Kalo yang nggak ada koma dan termaafkan juga ada. Misal:
"Kita bakal baik-baik aja." Dia terengah-engah, mengepalkan tangan. "Seandainya lo nggak ngomong apa-apa."
Sebagai pembaca, kita masih ngerti maksud dari "seandainya lo nggak ngomong apa-apa" itu. Kita ngerti kalo kalimat fragmented di situ terhubung ke pernyataan sebelumnya. Dibandingin sama kalimat pertama, yang nggak ada keterangan apa-apa baik di depan maupun di belakang, versi kedua sama ketiga ini lebih bisa dipahami (dan dimaafkan).
Plus, mungkin ada unsur licentia poetica juga. Biar kalimat lebih indah dan nggak kaku, "seandainya" itu jadi kalimat sendiri. Yang penting ada keterangan dan pembaca ngerti itu maksudnya ke mana, menurutku boleh-boleh aja.
Meski, tentu, yang namanya kalimat fragmented ya kalimat fragmented. Kalo ada yang nggak jelas, misal:
Louis yang memakai skinny jeans yang menyanyikan What Makes You Beautiful dengan merdu.
...ya pasti salah.
Kalimat Louis ini nggak bisa didebat lagi karena salahnya fatal. Subjek sama predikatnya nggak jelas. Kata "yang" kedua itu mending diilangin, jadi kalimat itu lebih padu.
Semoga celoteh di atas bisa membantu dan ngasih pencerahan, walau cuma sedikit ya. ☺️🧡
Komentar
Posting Komentar